Pilkada Serentak yang dijadwalkan terselenggara pada 9 Desember 2020, akan tetap terlaksana meski di tengah pandemi Covid-19. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang tahapan-tahapan pencoblosan dengan menerapkan protokol kesehatan.
“Kita telah mengeluarkan PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tetang tata cara penerapan protokol kesehatan di setiap tahapan. Jadi di setiap tahapan ada aturan protokol kesehatan mulai masuk ke TPS sampai keluar,” kata Arif Budiman Ketua KPU Pusat kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (29/8/2020).
Diantaranya seperti jaga jarak, cuci tangan dengan sabun, memakai masker sejak keluar rumah menuju ke TPS, cek suhu badan, hingga pengaturan jam kedatangan setiap 100 pemilih.
Arif menjelaskan, secara undang-undang pemilih memang diberi keleluasaan untuk mencoblos antara jam 07.00–13.00. Namun karena pandemi yang mengharuskan adanya upaya antisipasi kerumunan, pemilih akan diatur agar datang di jam-jam yang berbeda.
“Misalnya pemilih nomor 1-100 datang di jam 07.00-08.00. Lalu pemilih nomor 101-200 datang jam 08.00-09.00. Untuk itu kita butuh kepatuhan pemilih untuk datang di jam-jam yang telah ditentukan,” tambahnya.
Arif menyebut, jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia pada Pilkada Serentak nanti diperkirakan berjumlah 300 ribuan TPS. Total anggaran yang digunakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berkisar Rp10,2 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 96% anggaran sudah diterima oleh KPU.
Dikarenakan bertambahnya perlengkapan untuk memenuhi protokol kesehatan petugas di setiap TPS berimbas pada bertambahnya anggaran penyelenggaraan pilkada. Untuk memenuhi perlengkapan tersebut, pemerintah pusat memberikan Rp4,7 triliun melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang nantinya dibagikan ke seluruh TPS di Indonesia.
“Mungkin ada perubahan soalnya kemarin kita anggarkan rapid test untuk petugas itu pas harga rapid masih Rp300 ribuan. Sekarang kan sudah Rp150 ribu jadi mungkin akan ada pengurangan,” tambahnya.
KPU bekerja sama dengan tim ahli Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk memanfaatkan sistem e-rekap dalam pengumpulan hasil pemilu. Digitalisasi ini bertujuan untuk pengurangan penggunaan kertas serta mempercepat proses pengumpulan data yang biasanya bisa memakan waktu lebih dari satu bulan.
“Pemilu kita akan lebih ramah lingkungan, karena tidak ada salinan-salinan kertas. Juga dengan sistem e-rekap ini bisa memangkas waktu karena sebelumnya butuh 35 hari secara nasional dan 14 hari kalau provinsi. Dengan e-rekap bisa dicapture, dikirim lalu langsung diputuskan hasilnya. Ini perubahan mendasar dari sistem berpemilu kita,” kata Arief.
Sedangkan untuk kegiatan kampanye, KPU masih diperbolehkan calon kepala daerah dengan calon pemilih bertemu secara langsung. Namun KPU belum memutuskan berapa maksimal jumlah orang yang terlibat dalam kampanye langsung.
Awalnya KPU mengusulkan maksimal 50% orang dalam kegiatan kampanye. Namun jika kampanye dilakukan di stadion atau lapangan terbuka, 50% dianggap masih melibatkan banyak orang. Lalu KPU mengusulkan maksimal 50 orang dan selebihnya memanfaatkan media daring. Namun ada masukan dari beberapa pihak tentang masih banyaknya daerah yang belum maksimal dalam penggunaan media daring.
“Lalu ada masukan ‘kalau di tempat saya belum bisa diajak daring’. Kemungkinan, maksimal 100 orang kalau bertemu langsung sisanya dengan sarana daring untuk berkampanye. Tapi ini masih kita bahas lagi,” kata Arif.
KPU juga melakukan evaluasi tentang seleksi petugas pemilu yang pada pemilu 2019 kemarin memakan banyak korban jiwa. Lebih dari 800 petugas KPPS meninggal dunia dan lebih dari 11 ribu petugas sakit. Fakta tersebut menjadi salah satu catatan buruk dalam sistem pemilu di Indonesia.
Untuk itu, KPU akan melakukan sistem penyeleksian bagi para petugas yang akan terlibat dalam pemilu. Di antaranya petugas berusia tidak lebih dari 50 tahun dan tidak memiliki sakit bawaan yang berisiko.
“Teman-teman KPPS yang terpilih adalah orang-orang yang memenuhi kriteria kalau ada yang sakit. Jadi mereka yang mendaftar harus secara jelas terbuka dalam kondisi sakit atau tidak, tidak ditutup-tutupi,” jelasnya.
Arief menjelaskan, pemilu serentak pada 9 Desember mendatang akan melibatkan banyak orang dan hal itu tidak bisa dihindari. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran untuk tetap menjalankan protokol kesehatan baik bagi penyelenggara, petugas pemilu, petugas keamanan dan pemilih.
“Jumlah TPS sekitar 300 ribu, yang setiap TPS ada 9 orang. Tinggal dikalikan saja. Belum penyelenggara di desa, kelurahan, kecamatan, petugas kepolisian. Perkiraan kami lebih dari 3 juta orang terlibat dalam pemungutan suara ini,” imbuh Arief.(tin/lim)