Jumat, 22 November 2024
21-02-2007

Kesiapan Surabaya untuk Kawasan Tanpa Rokok

Laporan oleh Noer Soetantini
Bagikan

Rencana Raperda tentang kawasan tanpa rokok di Surabaya harus dilihat dari tujuannya. Apakah mengurangi perokok atau supaya perokok tidak mengganggu orang-orang yang merokok atau meningkatkan pemahaman pengetahuan tentang bahaya merokok. Demikian disampaikan HENRY SUBIAKTO Direktur LKM dalam Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (21/02).

Menurut HENRY, kalau mengurangi supaya orang tidak merokok, Raperda belum tentu berjalan efektif. Mengutip JEFFRY WEAGONS peneliti dari perusahaan rokok besar di Amerika, mengatakan, orang merokok masalahnya adalah kecanduan, bukan tidak tahu bahaya merokok atau tidak boleh merokok.

Kawasan anti rokok bukan problema semata-mata kesehatan tapi juga masalah hak asasi manusia, demokrasi. Ketika merokok dan mengganggu orang lain berarti mengganggu hak orang lain untuk tidak mendapatkan asap rokok. Banyak orang karena sudah kecanduan tidak peduli lagi dengan orang lain merasa bahwa haknya untuk merokok.

“Ini multi dimensi dan ada hal-hal yang bisa dijadikan kampanye untuk mengapa perlunya kawasan anti merokok. Karena problemnya bukan hanya kesehatan tapi juga demokrasi menghargai hak asasi manusia sekaligus ini persoalan hukum bagaimana aturan Perda bisa ditegakkan. Banyak negara kampanye anti merokok sudah dilakukan tetapi tidak bisa mengurangi kemauan orang-orang yang sudah kecanduan,”paparnya.

Cara mengkomunikasikan Perda, kata HENRY, aturan ditegakkan semua pihak. Aturan tidak hanya berlaku, dalam artian, ada semacam kampanye untuk menunjukkan bahwa hak-hak yang harus dihargai untuk tidak mencemari ruangan itu tidak hanya di tempat umum. Tapi itu hak yang dimiliki semua orang.

Di Jakarta sudah dilakukan tapi problema yang terjadi adalah orang takut merokok di tempat umum karena sanksi. Justru mereka merokok di rumah yang mencemari anak dan istrinya. Akhirnya, kalau tujuannya kesehatan yang menjadi korban tetap ada. Orang yang merokok dengan Perda tidak akan meninggalkan kebiasaan merokok tapi diatur karena ada hak orang lain supaya tidak terganggu dengan asap rokok.

Ny.NINA pendengar Suara Surabaya berpendapat Raperda Larangan Merokok perlu dicermati tentang implementasi dan pengawasan. Singgah di 4 rumah sakit dengan larangan merokok diketahui adanya perokok yakni yang menunggu pasien. Siapa yang mengawasi atau menegur ditempat-tempat larangan nantinya ? Bagaimana pengawasannya ? Karena masyarakat jika diimbau tidak negatif thinking.

Dengan larangan dan ruang gerak dipersempit akan sadar dan tidak merokok atau tidak membeli rokok. Apakah secara nasional, pemerintah sudah siap tidak ada PAD dari rokok ? Perlu disampaikan dalam talkshow sejauh mana tingkat kerugian negara jika tidak ada cukai rokok ? Atau sejauh mana kontribusi cukai rokok menunjang PAD ?

AGUS guru di Surabaya yang ikut bergabung di Wawasan mengatakan kebenaran sifatnya universal. Kalau orang mau tahu sebenarnya merokok tidak baik dan semua orang tahu.

Kesadaran orang untuk tidak merokok butuh waktu. “Saya mendukung Raperda jika diwujudkan. Targetnya, paling tidak masyarakat menyadari kalau merokok mestinya malu. Kedua, karena mengganggu orang lain seharusnya sadar betul. Kalau bisa Perda itu tegas dan steril dari merokok malu. Dunia pendidikan juga harus steril dari merokok.

SAM pendengar Suara Surabaya mengatakan pengaturan dan kontrol dari konten Raperda secara keseluruhan tidak hanya boleh merokok dimana tapi bagaimana dengan promosi di media sendiri. Masyarakat pernah dibiasakan dengan sabuk pengaman dan hasilnya juga bisa dengan pengawasan dari kepolisian.

Cara mengkomunikasikan agar efektif, kata SAM, bisa langsung dan tidak langsung. Mereka mempromosikan dengan cara membagikan brosur di mal dan komunikasi tidak langsung melalui media dan di sekolah-sekolah.

SUSANTO pendengar Suara Surabaya yang lainnya, sangat setuju dengan Raperda. Tapi apa bisa mensosialisasikan ke masyarakat kelas bawah. Karena yang mendengarkan masalah ini hanya masyarakat menengah ke atas atau tahu dari mana.

RUDI NIRWANTA pendengar Suara Surabaya menilai masyarakat atau ‘bagi perokok’ tidak siap. Yang namanya sebuah peraturan sifatnya mengikat. Sekarang bagaimana implementasinya dan sifatnya dilematis bagi kalangan perokok. Tinggal bagaimana Raperda mengakomodir kepentingan perokok.

RICHARD perokok mengaku mulai merokok karena terpengaruh lingkungan dan sulit mengakhiri. Sekarang sudah tidak jadi perokok lagi. Dari pemula, pecandu dan berhenti.

Soal KTR (Kawasan Tanpa Rokok), kata RICHARD, ada 3 hal yang perlu dicermati yakni treatment terhadap produsen, konsumen diarahkan ke ruang untuk merokok dan nantinya terbentuk budaya tertib merokok. Karena merokok ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan yakni lingkungan. Dan ketiga regulator dimana pemerintah komitmen mengatur ruang gerak kegiatan merokok di kota tersebut.

YAN YAN CAHYANA Konsultan Komunikasi Unair menjelaskan sangat meragukan Perda KTR. Regulasi mudah dibuat tapi seharusnya spiritnya adalah melindungi pada bukan yang merokok. Bagi perokok pendekatannya adalah merokok perilaku kontra rasio.

Aturan dalam rangka mengurangi atau menurunkan, pendekatannya adalah tradisional. Ahli kesehatan menyebabkan penyakit dan sebagainya, sementara energi kampanye bagi perusahaan rokok dahsyat sekali.

Kalau mau desain komunikasinya harus dari orang-orang yang merokok. Akan meragukan dan tidak efektif. Jika regulasi dikeluarkan konteksnya adalah untuk orang-orang yang tidak merokok.

Regulasi di atas ruangan tetap tidak akan efektif. Banyak ahli komunikasi dari industri rokok sangat luar biasa dengan energi yang besar. KTR akan bisa mengurangi ruang gerak perokok.

IWAN K pendengar Suara Surabaya mengatakan yang penting dibahas adalah menyiapkan ruangan untuk merokok di sela-sela ruangan yang bebas merokok. Saat Dies Natalis UGM disayembarakan ruangan untuk perokok di ruang tunggu rumah sakit, di perpustakaan. Dengan demikian tetap mengakomodasi hak bagi perokok.

HIDAYAT mantan perokok berat dan berhenti sejka 1980 karena saat itu ada hobi yang terganggu akibat merokok. Suara sempat hilang akibat merokok.

Tentang KTR mendukung. Untuk kebiasaan merokok di kantor, kata HIDAYAT, perlu ada ketegasan dari pimpinan. Mudah-mudahan pimpinan juga tidak merokok sehingga bisa memberikan contoh yang baik.

SUGIHARTO GANI pendengar Suara Surabaya yang bergabung di akhir Wawasan mengusulkan bagaimana perusahaan rokok memberikan asuransi bagi masyarakat yang tidak merokok tapi menderita sakit sesuai diagnosis dokter akibat rokok.

Dialog interaktif program Wawasan Suara Surabaya ini, selengkapnya bisa Anda klik dan dengarkan dalam radio on demand di bawah ini.

Bagikan
Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs