Bulan Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan budaya berbelanja. Dahulu di kota Surabaya, dikenal tradisi Prepegan yang menjadi budaya turun temurun di kota ini menjelang datangnya Idul Fitri.
Prepegan merupakan kondisi dimana orang-orang Surabaya dan beberapa kota lain di pulau Jawa zaman dulu berbelanja kebutuhan pokok dan pakaian di pasar menjelang Idul Fitri. Makna kata Prepegan sendiri adalah “berdesak-desakkan”.
“Prepegan itu mengacu pada orang yang bergerak serentak dan ramai. Itu adalah bahasa Jawa. Situasi yang hiruk pikuk. Sehingga orang mengatakan itu Prepegan. Tradisi ini muncul tidak lama setelah Islam masuk,” ujar Purnawan Basundoro sejarawan dari Universitas Airlangga saat ditemui suarasurabaya.net, Jumat (26/6/2015).
Kata Purnawan, keramaian Prepegan terjadi karena pada zaman dulu pasar hanya dibuka menurut dengan tanggalan Jawa.
“Zaman dulu, Prepegan di desa itu hanya berlangsung beberapa hari saja. Dibukanya pasar kan memang secara periodik. Urutannya adalah pasar Pon, pasar Wage, pasar Kliwon, pasar Legi, dan pasar Pahing. Misalnya lebaran jatuh pada hari Pahing, maka pada hari Legi yang mepet dengan hari Pahing, itu adalah puncak Prepegan. Semua orang datang ke pasar Legi, bahkan pasar akan dipertahankan sampai sore, itu Prepegan dalam konteks yang asli. Jadi keramaiannya bisa jadi sangat istimewa,” ungkapnya.
Menurutnya, saat ini tradisi Prepegan dalam konteks yang original sudah tidak ada lagi di Kota Surabaya. Namun, masih ada komunitas-komunitas tertentu di pinggiran Surabaya yang mencoba mempertahankan tradisi itu. Misalnya di Surabaya Barat yaitu di daerah Wiyung.
“Caranya mereka mengumpulkan pedagang menjelang lebaran. Kemudian mereka membuka lapaknya disana, dan orang akan ramai-ramai mendatangi tempat itu. Tetapi karena ini adalah konteksnya sekadar romantisme masa lalu, maka itu seperti sesuatu yang dikomando,” paparnya.
Hilangnya tradisi Prepegan yang asli menurut dia disebabkan oleh derasnya arus modernitas yang terjadi di kota Surabaya saat ini. Orang-orang lebih memilih berbelanja di mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang buka setiap saat tanpa mengacu tanggalan Jawa.
“Ketika pasar tradisional itu hilang, maka tradisi Prepegan juga ikut hilang,” pungkasnya. (dop/edy)