
Sering merasa ingin makan manis dan memikirkan apakah ada ruang kosong untuk memakan makanan penutup ketika kenyang merupakan sebuah fenomena yang disebut “perut kembung” dan berkaitan dengan otak.
Dikutip dari Antara pada Selasa (18/2/2025), dalam sebuah penelitian baru-baru ini, para peneliti menyelidiki fenomena tersebut pada tikus dan menemukan bahwa mereka makan gula bahkan saat mereka sudah kenyang.
Saat menganalisis otak, mereka menemukan bahwa sekelompok sel saraf yang disebut neuron POMC memicu keinginan untuk makan gula.
Saat tikus makan gula, neuron ini melepaskan ß-endorfin, zat adiktif alami yang membuat mereka merasa puas dan menyebabkan mereka makan lebih banyak, bahkan saat mereka sudah kenyang.
Efek ini khusus untuk gula, bukan makanan lain. Saat para peneliti memblokir jalur ini, tikus berhenti makan gula tambahan, tetapi hanya saat mereka sudah kenyang. Penghambatan ß-endorfin tidak mempengaruhi tikus yang lapar.
Para peneliti juga menemukan bahwa aktivasi endorfin dimulai bahkan sebelum tikus mulai mengonsumsi gula, segera setelah mereka merasakannya. Menariknya, zat opiat juga dilepaskan di otak tikus yang belum pernah mengonsumsi gula sebelumnya.
“Begitu larutan gula pertama masuk ke mulut tikus, ß-endorfin dilepaskan di ‘daerah perut pencuci mulut’, yang selanjutnya diperkuat oleh konsumsi gula tambahan,” ujar para peneliti.
Ketika uji coba serupa dilakukan pada manusia, para peneliti menggunakan pemindaian otak pada relawan setelah mereka menerima larutan gula melalui tabung. Mereka menemukan bahwa daerah otak yang sama merespons gula pada manusia di mana terdapat banyak reseptor opiat yang dekat dengan neuron rasa kenyang.
“Dari perspektif evolusi, ini masuk akal: gula jarang ditemukan di alam tetapi menyediakan energi cepat. Otak diprogram untuk mengendalikan asupan gula setiap kali tersedia,” ucap Henning Fenselau, pemimpin kelompok penelitian di Max Planck Institute for Metabolism Research dan kepala penelitian.
Para peneliti berharap temuan mereka dapat bermanfaat untuk mengobati obesitas.
“Sudah ada obat yang memblokir reseptor opiat di otak, tetapi penurunan berat badannya lebih sedikit dibandingkan dengan suntikan penekan nafsu makan. Kami yakin bahwa kombinasi dengan obat tersebut atau dengan terapi lain bisa sangat bermanfaat. Namun, kami perlu menyelidiki hal ini lebih lanjut,” kata Fenselau. (ant/nis/saf/ipg)