Sabtu, 22 Februari 2025

Menilik Lebih Dalam Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa dan Kebaya Peranakan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Kegiatan bincang Wastra Bercerita yang digelar oleh Perhimpunan Wastraprema, saat memperkenalkan Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa, di Museum Tekstil Jakarta, Sabtu (15/2/2025). Foto: Antara

Batik Pesisiran merupakan batik yang banyak ditemukan di daerah pesisir utara Jawa. Batik ini memiliki perpaduan akulturasi budaya Indonesia dan pengaruh budaya asing.

Batik Pesisiran muncul karena berasal dari daerah pesisir Utara pulau Jawa seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran. Batik Pesisir berasal dari luar kota Solo dan Yogyakarta.

Melansir Antara Minggu (16/2/2025), dalam bincang Wastra Bercerita, Neneng Iskandar Ketua Umum Himpunan Wastraprema menjelaskan sekitar abad 15 dan 16, para peranakan dari berbagai negara, baik dari China, India, Belanda, dan Arab yang sampai di Nusantara mengembangkan busananya sendiri berupa sarung dan kebaya.

Dalam perkembangannya, kaum peranakan membutuhkan batik sendiri. Sementara itu, Batik Pesisir mulai berkembang sekitar abad 19.

“Batik Pesisir lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan, dan baru berkembang luas sekitar abad 19 yang diakibatkan adanya kemunduran produksi tekstil dari India yang saat itu menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke pulau Jawa,” kata Neneng Iskandar, dalam bincang Wastra Bercerita di Perhimpunan Wastraprema, di Museum Tekstil Jakarta, pada Sabtu (15/2/2025).

Neneng Iskandar menjelaskan bahwa ragam motif Batik Pesisiran sangat kaya karena tidak hanya pengaruh dari pulau Jawa namun juga dari China, India, dan Arab.

“Ciri khas batik pesisiran dapat dilihat dari motif yang menjadi simbol atau akulturasi budaya Indonesia dengan budaya asing seperti adanya motif naga, kapal, kaligrafi, dan juga motif yang mewakili ciri khas lingkungan pesisir. Pengaruh budaya ini, tidak hanya dari pulau Jawa namun budaya Sumatera juga ikut mempengaruhi,” ujarnya.

Selain itu, dalam kesempatan yang sama, Didi Budiardjo Perancang Busana menjelaskan bahwa Batik Pesisir ini biasanya dipadu dengan kebaya peranakan, yaitu kebaya yang umumnya dikenakan oleh perempuan Eropa atau Tionghoa.

Menurut Didi, kini pemakaian kebaya peranakan sebagai mode semakin eksis dan penggunaannya cukup meningkat, meskipun belum sebanyak pemakaian kebaya kuthu baru.

“Asimilasi budaya Tionghoa-Indonesia melahirkan kebaya peranakan. Kebaya peranakan terus berkembang tanpa meninggalkan pakem yang ada,” ucap Didi.

Didi mengatakan pada tahun 1930 sangat marak kebaya encim beraneka ragam. Namun, tidak pernah berwarna putih kecuali sesaat setelah kematian kerabat dekat. Hal ini lantaran masyarakat Cina asli maupun peranakan memakai warna putih sebagai warna ketiadaan, kematian.

Awalnya kebaya encim dikenal dengan sebutan kebaya nyonya, julukan ini pertama kali dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Tionghoa peranakan.

“Istilah kebaya encim digunakan secara umum oleh non-Tionghoa untuk menamakan jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan peranakan Tionghoa,” katanya.

Namun, menurut Didi, sejak tahun 1911 pada runtuhnya kekaisaran Tiongkok, orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Eropa Belanda.

Saat itu, para noni Belanda tidak mengenakan kebaya para bangsawan yang mewah dari bahan sutera. Namun, memilih bahan katun tipis berpotongan pendek.

“Bermula dari inspirasi kebaya para noni, para nyonya Tionghoa memodifikasi dengan memasukkan potongan, bahan ,warna, border, dan aksesoris yang digunakan,” tuturnya.

Adapun pada kegiatan bincang Wastra Bercerita itu juga menyajikan pameran Batik Pesisiran lebih dari 100 helai yang dibuat sekitar tahun 1900 koleksi Museum Tekstil Jakarta sumbangan Ibu Eiko Adnan. (ant/nis/bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Surabaya
Sabtu, 22 Februari 2025
28o
Kurs