
Permasalahan yang sering menjadi perhatian para ulama di bulan Ramadan adalah orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadan tanpa alasan syari yang dibolehkan, seperti sakit, bepergian jauh, atau kondisi lain yang termasuk rukhshah (keringanan) dari Allah.
Dalam literatur hadis, terdapat beberapa riwayat yang membahas konsekuensi dari perbuatan tersebut, baik dari sisi hukum syariat maupun ancaman yang terkait dengannya.
Said bin Al-Musayyib, As-Syabi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qatadah, dan Hammad, yang berpendapat bahwa pelaku yang membatalkan puasa secara sengaja di satu hari bulan Ramadan, maka harus mengganti (puasa) satu hari sebagai gantinya. (Lihat Shahihul Bukhari, [Beirut, Dar Thawqin Najah: 1422], jilid III, halaman 32).
Riwayat dari Abdullah bin Masud yang dinisbatkan kepadanya sebagai hadis mauquf (hadis yang sumbernya dari Sahabat Nabi):
مَن أفطَرَ يَومًا مِن رَمَضانَ مِن غَيرِ عِلَّةٍ لَم يُجزِه صيامُ الدَّهرِ حَتَّى يَلقَى اللهَ عَزَّ وجَلَّ، فإِن شاءَ غَفَرَ له وإِن شاءَ عَذَّبَه
Artinya, “Siapa pun yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari di bulan Ramadan tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), maka puasanya sepanjang masa tidak akan mencukupinya hingga ia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengazabnya.” (HR Al-Baihaqi).
Dilansir dari NU Online, Kamis (13/3/2025), riwayat ini menyebutkan bahwa seseorang yang membatalkan puasa tanpa alasan tidak akan dapat menebusnya dengan puasa sepanjang masa hingga ia bertemu Allah, dan keputusan akhir ada pada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
Riwayat dari Abdullah bin Masud di atas juga dikomentari oleh Al-Baihaqi, bahwa pada sanadnya terdapat sosok Abdul Malik putra dari Husain An-Nakhai, yang dinilai kurang kredibel dalam periwayatan. (Al-Baihaqi, VIII/499).
Berdasarkan penelitian para ulama hadis, mayoritas riwayat yang menyebutkan ancaman keras terhadap orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadan tanpa alasan syari memiliki kelemahan dalam sanadnya.
Dengan demikian, tidak ada satupun hadis shahih yang secara tegas menyatakan bahwa puasa yang sengaja dibatalkan tanpa alasan tidak dapat diqadha seumur hidup, atau membawa konsekuensi seberat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut.
Kendati demikian, hadis di atas menjadi salah satu peringatan keras dalam Islam terkait tindakan sengaja membatalkan puasa Ramadan tanpa alasan syari.
Para ulama memberikan penafsiran mendalam untuk memahami makna hadis ini, baik dari sisi hukum syariat maupun implikasi moralnya. Al-Mubarakfuri menukil beberapa pendapat ulama sebagai berikut:
Al-Muzhiri menyatakan bahwa hadis ini tidak bertujuan untuk meniadakan kewajiban qadha puasa secara harfiah. Menurutnya, ungkapan “tidak akan dapat menggantinya dengan puasa sepanjang masa” merujuk pada puasa sunnah.
Artinya, puasa sunnah, meskipun dilakukan seumur hidup, tidak dapat menyamai keutamaan puasa wajib di bulan Ramadan. Ia menegaskan bahwa secara hukum, qadha puasa satu hari tetap sah dan mencukupi untuk menggantikan satu hari yang ditinggalkan.
Dengan kata lain, kewajiban syariat tetap terpenuhi, meskipun keutamaan khusus puasa Ramadan tidak dapat dicapai melalui qadha. (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih, [Benares India, Departemen Riset Ilmiah, Dakwah, dan Fatwa: 1404 H / 1984 M], jilid VI, halaman 529).
Sementara itu, At-Thayyibi memandang hadis ini sebagai bentuk tasydid wa taghlizh (penegasan dan peringatan keras) yang bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan keseriusan dalam menjaga puasa Ramadan.
Ia menyoroti penggunaan frasa “meskipun ia berpuasa” sebagai penegasan bahwa bahkan puasa qadha yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan tanpa kelalaian di luar bulan Ramadan tetap tidak dapat menyamai keutamaan puasa Ramadan yang ditinggalkan tanpa alasan.
Sehingga menurutnya, puasa seumur hidup tidak akan cukup untuk menebus hilangnya puasa Ramadan, baik dari sisi pahala maupun nilai spiritualnya. (Al-Mubarakfuri, VI/529).
Ibnul Munir memperluas penafsiran dengan menekankan perbedaan mendasar antara adā (pelaksanaan pada waktunya) dan qadha (penggantian di luar waktunya). Ia berpendapat bahwa hadis ini menunjukkan bahwa qadha tidak mampu menggantikan kedudukan adā dalam hal kesempurnaan pahala dan keutamaan.
Meskipun seseorang berpuasa sepanjang hidupnya sebagai ganti satu hari yang ditinggalkan, itu tidak akan setara dengan puasa Ramadan yang dilakukan pada waktu yang ditentukan Allah. Namun, ia menegaskan bahwa ini tidak berarti qadha ditolak secara total.
Dalam hukum syariat, qadha tetap dapat menggugurkan kewajiban secara umum, meskipun tidak mencapai kesempurnaan adā. Ia juga membandingkan kasus ini dengan ibadah lain, dengan menyatakan bahwa tidak ada ibadah wajib yang terikat waktu yang tidak menerima qadha, kecuali shalat Jumat, yang terikat pada syarat waktu tertentu dan tidak dapat diganti di luar harinya.
Ibnu Hajar, sebagai salah satu ulama hadis terkemuka, menyoroti konsensus mayoritas ulama yang berbeda. Menurut mereka, qadha satu hari tetap sah dan cukup sebagai pengganti, terlepas dari perbedaan kondisi, misalnya, hari Ramadhan yang ditinggalkan sangat panjang dan panas, sementara hari qadha pendek dan sejuk ((Al-Mubarakfuri, VI/529). (nis/ham)