Jumat, 28 Februari 2025

Memahami Hubungan Indonesia-Timor Leste Lewat Karya Sastra Novel Bumi Lorosae

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Novel Bumi Lorosae karya Wahyuni Refi penulis saat dibedah di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Foto: Risky suarasurabaya.net

Novel dengan judul Bumi Lorosae yang baru saja diluncurkan oleh Wahyuni Refi penulis, mengajak masyarakat untuk memahami hubungan antara Indonesia dan Timor Leste.

Dalam novel tersebut, menceritakan hubungan Indonesia dan Timor Leste sejak era kolonial Portugis, integrasi Timor Timur ke Indonesia, hingga kemerdekaan Timor Leste pada 2002.

“Perjalanan saya ke Timor Leste bukan hanya berbicara soal negara, melainkan tentang manusia,” ujarnya dalam keterangan, Jumat (28/2/2025).

Aspek kemanusiaan dalam hubungan kedua negara, kata dia, kurang mendapatkan perhatian, meskipun ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk pemerintah kedua negara, ia merasa masih banyak kisah yang perlu diangkat agar sejarah bisa dipahami lebih dalam.

“Perjalanan saya dari Atambua hingga 13 distrik di Timor Leste memperlihatkan bahwa ada sisi kemanusiaan yang menembus sekat-sekat politik dan sejarah. Itu yang saya coba lukiskan dalam novel ini dan bagaimana pembaca menafsirkannya nanti, itu terserah mereka,” tambahnya.

Karya sastra ia pilih untuk memberi pemahaman kepada masyarakat, karena lebih mudah diakses generasi muda dan memiliki pembahasan sisi kemanusiaan yang lebih mendalam.

Didik Nurhadi Wakil Dekan bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan, Bumi Lorosae merupakan salah satu novel yang mampu membuka jendela sejarah dan menyentuh hati.

“Novel ini menyajikan sisi humanis, persahabatan, dan usaha menjembatani rekonsiliasi untuk mengobati luka,” ucapnya.

Sementara itu, Riri Rengganis dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unesa mengatakan, sejarah memang seharusnya banyak diulas oleh penulis, tak terkecuali perempuan, sehingga ada hasil karya dari sisi perempuan.

“Di sini saya lihat, yang ingin bercerita adalah perempuan. Jadi saya melihat bagaimana suara perempuan di konflik Bumi Lorosae,” katanya.

“Karya sastra bisa menjadi alat agar kita bisa melihat, bagaimana kekerasan di Timor Timur itu terjadi. Kita bisa menabung empati terhadap apa yang terjadi di sana,” imbuhnya.

Afrizal Malna penyair juga menambahkan bahwa, novel merupakan karya penting untuk generasi sekarang, agar sastra tetap hidup dan informasi di dalam novel tersebut tersampaikan le masyarakat.

“Kita adalah bangsa yang mungkin mudah lupa. Republik Demokratik Timor Leste berdiri tahun 2002,” kata Afrizal.

Menurutnya, tidak banyak novel perang yang ditulis oleh perempuan, sehingga novel tersebut menjadi karya yang bagus untuk dibaca dan dipahami.(ris/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Jumat, 28 Februari 2025
27o
Kurs