Kamis, 13 Maret 2025

Hukum Hubungan Intim di Siang Hari Ramadan bagi Pasutri Tidak Berpuasa: Apakah Wajib Membayar Kafarat?

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Ilustrasi pasangan suami istri. Foto: Freepik

Salah satu hal yang membatalkan puasa selain makan dan minum dengan sengaja adalah melakukan hubungan intim dengan suami atau istrinya.

Lantas bagaimana hukum melakukan hubungan intim di siang hari pada bulan Ramadan jika suaminya sedang sakit dan istrinya sedang hamil?

Keduanya ingin melakukan hubungan di siang hari karena kalau malam biasanya kondisi susah untuk mandi junub dan alasan lainnya. Kondisi laki-laki juga lebih tidak fit di malam harinya.

Dalam islam, melakukan hubungan intim suami istri di siang hari bulan Ramadan adalah dilarang. Selain berdosa, pelakunya wajib meng-qadha dan membayar kafarat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu sebagai berikut:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ، قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «هَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لَا قَالَ: «اجْلِسْ» وَمَكَثَ النَّبِيُّ ﷺ، فَبَيْنَمَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ الضَّخْمُ، قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟»، قَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ»، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتِ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي؟ ! فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Pada suatu saat ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW, seseorang lelaki datang dan berkata: ‘Wahai Rasulullah SAW, celakalah aku.’ Rasulullah SAW bertanya: ‘Apa yang telah membuatmu celaka?’ Ia menjawab: ‘Aku melakukan hubungan intim dengan istriku padahal aku sedang berpuasa.’

Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu memiliki budak untuk kau bebaskan?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bertanya, ‘Dapatkah kamu puasa dua bulan penuh?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bertanya: ‘Dapatkah kamu memberi makan 60 orang miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’

Nabi pun termenung sejurus dan pada saat yang bersamaan sekeranjang penuh kurma dibawa ke hadapannya. Nabi bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Aku di sini.’

Dilansir dari NU Online, Kamis (13/3/2025). Nabi bersabda kepadanya: ‘Bawalah ini dan sedekahkanlah.’ Orang itu berkata,’Haruskah aku sedekahkan kepada orang yang lebih miskin daripada aku? Demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua gunung ini (Madinah) yang lebih miskin daripada aku.’

Nabi pun tersenyum hingga tampak gigi serinya dan bersabda, ‘Berikanlah makanan ini kepada keluargamu.’ (Muttafaqun ‘Alaih).

Dari hadits ini kemudian ulama merumuskan hukum bahwa barang siapa yang berhubungan intim suami istri di siang hari bulan Ramadan dengan sengaja, sedangkan ia berstatus mukallaf (baligh dan berakal), serta telah berniat puasa dari malam hari, maka ia berdosa karena hubungan intim tersebut membatalkan puasanya.

Karenanya, wajib baginya meng-qadha puasa dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang budak mukmin, dalam konteks tempo dulu saat berlaku perbudakan. Jika ia tidak mendapatkannya seperti zaman sekarang, maka wajib baginya berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Jika ia tidak mampu melaksanakannya, maka wajib baginya memberi makan 60 orang miskin atau fakir, dengan ukuran satu mud untuk setiap orang, yaitu dari makanan pokok yang sah digunakan dalam zakat fitrah.

Jika ia tidak juga mampu melakukan semua itu, maka kafarat tetap menjadi tanggungannya. Apabila ia mampu di kemudian hari untuk melakukan salah satu dari tiga bentuk kafarat tersebut, wajib baginya melaksanakannya.” (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 139-140).

Namun demikian, tidak dapat dipahami bahwa semua hubungan badan di siangnya bulan Ramadan mewajibkan kafarat sebagaimana di atas. Ada detail pemahaman yang perlu dijelaskan misalnya terkait hubungan badannya. Artinya apakah batalnya puasa disebabkan hubungan badan atau selainnya.

Berikut penjabaran Syekh Ibrahim Al-Bajuri:

وخرج بالوطء سائر المفطرات كالأكل والشرب وإن وطيء بعده أو معه، وهذه حيلة في إسقاط الكفارة دون الإثم

Artinya, “Yang dikecualikan dengan ungkapan jima (bersetubuh) adalah pembatal puasa lainnya, seperti makan dan minum, meskipun seseorang melakukan jima setelah atau bersamaan dengan makan dan minum. Ini merupakan suatu cara untuk menggugurkan kewajiban kafarat, tetapi tidak menggugurkan dosa.” (Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: t.t], juz I, halaman 568).

Dari penjelasan Syekh Al-Bajuri di atas dapat dipahami, hubungan badan yang dilakukan di siang bulan Ramadan dan dilakukan setelah membatalkan puasanya terlebih dengan semisal makan atau minum, maka tidak mewajibkan kafarat namun tetap berdosa.

Kemudian terkait dengan pertanyaan di atas yang tidak berpuasa Ramadan karena suami sakit dan istri hamil, lalu pada siang harinya mereka melakukan hubungan intim suami istri, maka kedua alasan tersebut, sakit dan hamil adalah alasan yang diperbolehkan oleh syara untuk tidak berpuasa.

Dengan demikian hubungan intim suami istri yang dilakukan oleh keduanya tidak dilarang, sebab yang dilarang adalah membatalkan puasa dengan bersetubuh. Walhasil, kedunya hanya berkewajiban mengqadha puasa tanpa tambahan membayar kafarat. (nis/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Kamis, 13 Maret 2025
32o
Kurs