Fenomena Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau gangguan pencernaan mulai meningkat dan berkaitan erat dengan stres.
Dokter Ulfa Kholili, Spesialis Penyakit Dalam Gastroenterologi dan Hepatologi, menyebut bahwa dari sekian banyak masalah pencernaan, pasiennya didominasi oleh keluhan GERD.
“Dominan pada usia produktif, aktif, dan muda, dengan keluhan yang bervariasi,” katanya saat mengisi Seminar Nasional bertema Gut Health, Mind Health: Nurturing Your Gut for Healthier and Happier Mind yang digelar Prodia di Surabaya, Sabtu (12/10/2024).
Peningkatan fenomena ini disebabkan karena gejalanya mirip dengan berbagai penyakit lain.
“Mirip dengan penyakit jantung koroner jika keluhannya merasa panas, sesak, sulit bernapas, dan (sakitnya) tembus ke belakang (punggung),” jelasnya.
Gejala GERD yang mirip dengan jantung koroner sulit dideteksi oleh orang awam, sehingga pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit ketika gejala parah.
“Begitu datang di IGD, diberikan obat lambung dan dilakukan cek jantung, maka akan terlihat apakah itu GERD atau bukan,” imbuhnya.
Selain itu, GERD juga mirip dengan penyakit paru yang memiliki gejala batuk yang tak kunjung sembuh.
“Merasa seperti dahak sulit keluar, kerongkongan kering, seret. Kadang makan sulit turun. Paling sering bau mulut. Itu penyebabnya GERD,” ucapnya.
Atau mirip dengan gejala awal gangguan saraf, dengan keluhan pusing atau nyeri kepala berkepanjangan.
“Akibatnya sulit tidur atau stres,” tambahnya.
Menurutnya, GERD sangat berkaitan dengan stres, termasuk jenis masalah pencernaan lainnya.
“(GERD dan stres) itu seperti anak panah bolak-balik. Ada hubungan antara otak dan pencernaan, serta sebaliknya. Jika stres berlebihan, bisa menyebabkan kembung, diare, dan perut tidak nyaman,” paparnya.
Kesehatan mental dipengaruhi oleh sistem pencernaan, dan sebaliknya. Tanda permasalahan pencernaan itu beragam, mulai dari kembung, begah, mual, hingga gangguan Buang Air Besar (BAB).
“Kembung, mual, begah, dan tidak nyaman di ulu hati adalah gangguan pencernaan atas. Gangguan pencernaan bawah paling sering berkaitan dengan BAB. Gangguan ini bisa berupa sulit BAB atau sering diare,” katanya lagi.
Normalnya, seseorang seharusnya BAB sekali sehari. Jika sampai tiga hari tidak BAB, itu bisa menjadi tanda awal pencernaan bermasalah, apalagi dalam rentang waktu yang panjang.
“Ada dua definisi diare: lebih dari 3-4 kali sehari dan encer. Sementara konstipasi adalah kesulitan jika lebih dari 3 hari tidak bisa BAB atau harus mengejan,” tuturnya.
Jika mulai merasakan gejala-gejala di atas, Dokter Ulfa menyarankan untuk segera melakukan pemeriksaan.
“Kalau bisa sesegera mungkin. Namun, jika keluhan ringan dan ingin ditangani dengan obat ringan yang dijual bebas, dan sembuh, itu tidak masalah. Tapi jika berkepanjangan dan keluhan tidak kunjung sembuh, sebaiknya minta bantuan dokter untuk menganalisis keseimbangan mikrobiota,” bebernya.
Menurut Antonius Erbano, Regional Head Prodia East Java Batara Region, seminar ini digelar untuk meningkatkan kepedulian kesehatan masyarakat dan fokus pada pencegahan.
“Intinya tentang kesehatan saluran pencernaan. Ini sesuatu yang baru, saya yakin masyarakat belum terlalu sadar tentang kesehatan pencernaan,” ucapnya.
Kota Surabaya merupakan kota kesembilan dari sebelas kota besar yang menyelenggarakan seminar nasional sepanjang tahun 2024.
Roadshow ini adalah bagian dari upaya Prodia untuk konsisten mengedukasi masyarakat melalui kegiatan ilmiah yang tetap menyenangkan dan interaktif.
Prodia juga ingin memperkenalkan layanan terkait kesehatan mental melalui aplikasi U by Prodia, di antaranya Panel Mental Wellness Simple hingga komprehensif yang lebih personal, dengan pendampingan dokter ahli yang bisa diakses melalui fitur chat with doctor. (ADV/lta/iss)