Minggu, 24 November 2024

Peneliti Kembangkan AI untuk Deteksi Dini Risiko Psikosis

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi - Artifial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Foto : Antara

Sebuah studi yang diterbitkan di Molecular Psychiatry menunjukkan algoritma pembelajaran mesin kecerdasan buatan (artificial inteligent/AI) baru yang dikembangkan oleh Universitas Tokyo dan rekan penelitian mereka, dapat memprediksi risiko psikosis dari gambar otak.

Dilansir Antara dari laman Psychology Today, Senin (19/2/2024), Institut Kesehatan Mental Nasional (NIMH) mendefinisikan psikosis merupakan salah satu gangguan mental dengan serangkaian gejala seperti delusi, keyakinan salah, dan halusinasi, yang memengaruhi kontak seseorang dengan kenyataan.

Menurut NIMH, deteksi dini psikosis sering kali memberikan hasil pemulihan yang lebih baik. Oleh karena itu, memiliki cara untuk memprediksi timbulnya psikosis sebelum seseorang mengalami episode psikotik menggunakan pembelajaran mesin AI dapat meningkatkan hasil pasien.

“Paradigma risiko tinggi klinis (CHR) digunakan secara luas dengan tujuan meningkatkan deteksi dini dan pencegahan gangguan psikotik,” tulis Shinsuke Koike penulis koresponden dan Associate Professor Universitas Tokyo bersama dengan rekan penelitiannya dari 21 institusi dari Jepang, Spanyol, Jerman, Inggris, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Amerika, Kanada, Tiongkok, Korea Selatan, Swiss, Rusia, Singapura, dan Belanda.

Menurut perkiraan NIMH, setiap tahunnya antara 15 hingga 100 orang dari 100.000 orang berpotensi mengembangkan psikosis, dan seringkali terjadi perubahan perilaku seperti menarik diri dari pergaulan, menurunnya kebersihan pribadi atau perawatan diri.

Selain itu kesulitan memisahkan fantasi dari kenyataan, kesulitan berpikir logis atau jernih, paranoia, kecurigaan, masalah tidur, dan lainnya mungkin terjadi sebelum hal itu terjadi.

Psikosis juga disebabkan sejumlah faktor seperti faktor risiko genetik, masalah perkembangan otak paparan stres atau trauma, penyakit mental seperti depresi berat, gangguan bipolar, dan skizofrenia, kurang tidur, atau penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan. Psikosis juga disebut merupakan gejala penyakit lain seperti penyakit Alzheimer, demensia, dan penyakit Parkinson.

Para ilmuwan mengembangkan algoritma pembelajaran mesin AI menggunakan data pemindaian otak MRI dari orang-orang yang berisiko tinggi secara klinis yang kemudian menderita psikosis dari 21 lokasi Kelompok Kerja Risiko Tinggi Klinis untuk Psikosis ENIGMA.

Algoritme pembelajaran mesin AI yang digunakan adalah XGBoost (eXtreme Gradient Boosting), pustaka perangkat lunak sumber terbuka yang dapat diskalakan untuk algoritma pohon keputusan yang didorong gradien terdistribusi (GBDT).

XGBoost menerapkan peningkatan pohon paralel dan banyak digunakan untuk masalah klasifikasi, pemeringkatan, dan regresi. Para peneliti mengembangkan pengklasifikasi AI dan memetakan bobot untuk mengidentifikasi fitur-fitur utama untuk generalisasi.

“Akurasi pengklasifikasi pada kumpulan data pelatihan dan konfirmasi independen masing-masing adalah 85 persen dan 73 persen,” lapor para peneliti.

Menurut para ilmuwan, pemindaian otak MRI terhadap mereka yang secara klinis berisiko tinggi mengalami psikosis dalam penelitian lain telah menunjukkan perbedaan struktural di otak, yaitu berkurangnya materi abu-abu di korteks temporal medial dan superior temporal dan medial frontal.

Untuk penelitian saat ini, para peneliti menemukan bahwa area temporal superior, insula, dan frontal superior adalah wilayah otak yang paling membantu algoritma dalam mengklasifikasikan kontrol sehat dari peserta berisiko tinggi yang kemudian mengembangkan psikosis.

“Hasil ini menunjukkan bahwa ketika mempertimbangkan perkembangan otak remaja, pemindaian MRI dasar untuk individu CHR mungkin berguna untuk mengidentifikasi prognosis mereka,” demikian kesimpulan para ilmuwan. (ant/azw/bil/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs