Tuberkulosis (TBC) disebut merupakan penyakit infeksi yang memerlukan pengobatan dengan waktu yang cukup lama dan kesabaran.
Menurut Dr. Tutik Kusmiati, dr., Sp.P (K) Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Surabaya, sebelum menentukan pengobatan yang tepat, penting untuk memahami perbedaan antara TBC yang sensitif terhadap obat dan TBC yang resisten obat.
1. TBC Sensitif Obat
TBC sensitif obat merupakan jenis TBC yang merespons pengobatan standar. Pengobatannya umumnya berlangsung selama enam bulan.
Obat-obatan untuk jenis TBC ini tersedia di semua puskesmas, rumah sakit pemerintah, serta beberapa rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan.
2. TBC Resisten Obat
TBC resisten obat memerlukan pendekatan berbeda karena bakteri penyebabnya tidak merespons obat-obatan standar.
Pada awalnya, pengobatan untuk TBC resisten obat dapat berlangsung hingga dua tahun dengan kombinasi injeksi selama delapan bulan.
“Nah seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan penelitian, kini pengobatan tinggal yang oral. Sekarang tidak ada pengobatan dengan injeksi,” terang Tutik dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (27/8/2024) pagi.
Jika pengobatan enam bulan tidak memenuhi kriteria, pasien mungkin memerlukan opsi pengobatan selama sembilan bulan. Dalam kasus tertentu, jika sembilan bulan tidak memadai, pengobatan bisa berlangsung hingga 18 dan 24 bulan.
“Semua (pengobatan) gratis,” bilang dokter spesialis paru itu.
Untuk mengetahui resistensi obat, Tutik mengatakan bahwa pemeriksaan dahak diperlukan. Pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan keluhan atau hasil rontgen.
Dahak yang diperiksa bisa diakses di seluruh Puskesmas, rumah sakit milik pemerintah, dan beberapa rumah sakit swasta.
Tutik menambahkan bahwa TBC berbeda dengan penyakit lain seperti pneumonia atau tipes yang pengobatannya lebih singkat.
TBC memerlukan waktu lama karena bakteri TBC memiliki karakteristik khusus, seperti kemampuan untuk berhibernasi dalam kondisi semi-dorman dan melakukan mutasi untuk menghindari deteksi obat. Inilah yang bisa memicu resistensi obat.
“Sehingga pasien-pasien TBC yang didiagnosis sensitif, pengobatannya harus benar-benar teratur. Harus patuh. Karea kalau tidak, nanti pada saat kambuh, obat yang lama tidak bisa digunakan kembali. Sebab ada kemungkinan resisten. Jadi kepatuhan saat berobat itu penting,” tegasnya.
Tutik menyebut, dewasa ini kesadaran masyarakat mengenai TBC semakin meningkat. Hanya saja masih ada beberapa individu yang berhenti berobat sebelum waktunya karena merasa sudah sembuh.
Padahal, dia kembali menegaskan bahwa penghentian pengobatan secara prematur dapat menyebabkan kekambuhan dan resistensi obat.
Pengobatan TBC sering melibatkan konsumsi beberapa jenis pil dalam sehari, yang bisa mencapai 15 pil dalam sekali minum, tergantung pada dosis dan berat badan pasien.
“Oleh karena itu, kesabaran, ketelatenan, dan semangat ini sangat diperlukan. Juga peran paguyuban mantan pasien TB itu sangat penting. Karena dari mereka itu bisa memberikan semangat,” jelasnya.
Efek samping obat juga memerlukan perhatian, sehingga pasien perlu menjalani pemeriksaan awal seperti pemeriksaan hemoglobin (Hb), dan berbagai pemeriksaan lainnya.
Untuk anak-anak di bawah usia 15 tahun, pengobatan mungkin berlangsung lebih lama dibandingkan orang dewasa, dan dosis obat disesuaikan dengan berat badan.
Untuk pasien hamil atau yang mengalami resistensi obat, pengobatan bisa berlangsung hingga 18 bulan.
Tutik menambahkan, keberhasilan pengobatan TBC ditentukan melalui pemantauan berkala, seperti berkurangnya batuk, tidak ada demam, dan peningkatan berat badan.
Dalam kasus tertentu, ada pasien yang mengalami kenaikan berat badan hingga 20 kilogram selama proses pengobatan.
Selama pengobatan, pasien diminta untuk mematuhi jadwal pengobatan dan istirahat, serta melakukan pemeriksaan rutin untuk memastikan hasil yang negatif.
Tutik juga mengakui bahwa proses pengobatan TBC bisa sangat melelahkan, oleh karena itu kepatuhan pasien sangat penting.
“Kalau pasien itu manut, nurut, insyaallah sembuh,” tegasnya.
Tutik juga menyorot seringkali ada stigma terhadap pasien TBC yang dapat menyebabkan mereka tertekan atau bahkan kehilangan pekerjaan jika status mereka diketahui. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kerahasiaan dan mendukung pasien selama proses pemulihan.
“Teman-teman yang teduga TB, jangan takut untuk memeriksakan diri. Semakin cepat dideteksi, semakin cepat diobati. Tidak usah menunggu komplikasi. Karena semua pemeriksaan dan obat, gratis. Yang terpenting, TBC bisa disembuhkan,” pesannya. (saf/ham)