Gangguan kesehatan mental bergeser dari pekerja kelas bawah ke kelas menengah selama lima tahun terakhir. Hal ini dipengaruhi penurunan penyerapan tenaga kerja formal, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan peningkatan angka pengangguran.
Pada tahun 2017, pekerja kelas bawah mendominasi gangguan kesehatan mental level tinggi, yakni 66,7 persen dari total pekerja yang mengaku terkena gangguan mental.
Tapi pada 2022, pekerja kelas menengah justru paling banyak merasakan gangguan kesehatan mental level tinggi dengan 49 persen.
Komposisi pekerja dengan gangguan mental level tinggi di dua periode tahun itu juga berbeda. Pada 2017, setelah pekerja kelas bawah, disusul pekerja kelas menengah dan atas.
Dalam lima tahun terakhir, kelas menengah paling banyak mengalami gangguan mental level tinggi, disusul 27,5 persen pekerja ata, 23,8 persen pekerja kelas bawah.
Tidak hanya pekerja informal yang naik, ternyata angka PHK selama lima tahun (2018-2023) naik sampai enam kali lipat.
Pada 2018, jumlah karyawan yang di-PHK sebanyak 18.911. Kemudian pada 2023 menjadi 352.858 karyawan, dari data Kementerian Tenaga Kerja. Angka PHK pada 2023 ini hampir menyamai angka PHK pada 2020 saat pandemi Covid-19.
Menyikapi hal itu, Ersa Lanang Sanjaya psikolog sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra mengamini jika kelas menengah memang rentan mengalami gangguan mental.
“Kalau kita melihat yang paling sederhana saja, tuntutan pekerjaan tambah berat, jalanan yang macet, potongan ini dan itu, saya pikir itu menjadi isu tertentu yang bisa menjadikan mental health kelas menengah ini harus diperhatikan,” terang Ersa dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (13/8/2024).
Ersa menambahkan, tren ini bisa dilihat dari dua sisi, skala makro dan mikro. Dalam skala makro, kebijakan pemerintah itu lebih memperhatikan kelas atas dan kelas bawah.
“Sedangkan kebijakan untuk kelas menengan ini tidak terlalu pro. Malah lebih banyak potongan. Tuntuan itu, di mana ekonomi saat ini semakin ketat, membuat load kerja makin tinggi, waktu istirahat makin pendek, memperhatikan diri sendiri pun menjadi berkurang,” jabarnya.
Sementara di sisi lain, menurut Ersa, manusia membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan badannya. Ia menekankan bahwa istirahat yang berkualitas sebenarnya juga bagian dari pekerjaan.
“Kalau ditarik, sebenarnya kesehatan mental, stres di tempat kerja dan seterusnya, itu memang tidak terlihat. Tapi itu berdampak ke fisik hingga relasi. Ujung-ujungnya (berdampak) ke produktivitas,” ungkapnya.
Ersa menjelaskan, stres merupakan bagian dari kehidupan manusia. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara mengelola stres.
“Nah, seseorang yang memiliki health mental adalah ketika orang itu bisa berfungsi secara optimal sebagai manusia di fungsinya masing-masing. Dia sebagai pekerja bisa bekerja dengan baik. Dia sebagai bapak bisa menjadi bapak yang baik. Itu salah satu kriteria yang paling sederhana,” sebutnya.
Akan tetapi, jika sehari-hari selalu mengalami ketakutan, kecemasan, dan seterusnya, ini yang menjadi masalah.
“Ketika sumber stres yang terlalu banyak, kronis, berkepanjangan, dan tidak bisa dikontrol, itulah menjadi faktor yang menyebabkan kita stres,” terangnya.
Untuk meredakan stres itu, Ersa menganjurkan untuk mengambil istirahat dan tidak melulu bekerja. Ia juga menekankan tentang pemahaman akan kondisi diri sendiri. “Tanya ke diri sendiri itu hal yang penting,” katanya singkat.
Kepada perusahaan, Ersa menyebut bahwa harus dipikirkan bahwa mereka mempekerjakan manusia. Yang memiliki stres dan kecemasan.
“Saya pikir perlu memasukkan kesehatan mental dalam kebijakan-kebijakan berkait dengan ketenaga kerjaan. Termasuk dalam masalah cuti,” sebutnya. (saf/ham)