Mellia Christia, M.Si., M.Phil., psikolog klinis dari Universitas Indonesia (UI) menyebut anak yang tumbuh dalam keluarga yang mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), rentan menormalisasi kekerasan.
“Itu seakan-akan menjadi pembenaran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan itu normal kalau penuh dengan kekerasan,” kata dia, dilansir Antara pada Sabtu (25/11/2023).
Menurut Mellia, anak akan melihat hubungan orang tuanya sebagai proyeksi dalam membangun hubungan dengan orang lain pada masa mendatang. Melalui interaksi orang tuanya, anak akan menilai bagaimana cara laki-laki dan perempuan berinteraksi.
“Artinya dia melihat bahwa, ‘oh, begini, ya, cara orang berinteraksi antara laki-laki dan perempuan’,” kata Mellia.
Interaksi orang tua, kata Mellia, akan menjadi dasar anak dalam membina hubungan dengan orang lain. “Normalisasi kekerasan, agresivitas, kemudian memperlakukan pasangan dengan tidak baik, itu seakan-akan menjadi kebenaran untuk seorang anak,” lanjutnya.
Mellia melihat kasus KDRT yang menempatkan perempuan sebagai korban bisa memengaruhi persepsi anak terhadap ibunya. Kemungkinan yang terjadi anak bisa saja tidak menghargai perempuan atau orang tua dan penilaiannya terhadap sosok seorang ibu.
“Kemudian mungkin dampak lainnya adalah bagaimana penilaiannya terhadap ibunya, kompetensi seorang ibu, serta juga dia belajar untuk menjadi pelaku,” kata Mellia.
Lebih lanjut, sang Psikolog mengatakan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang memiliki riwayat KDRT tidak hanya dapat menjadi pelaku kekerasan, namun, juga berpotensi berhadapan dengan trauma.
“Kemudian juga jadi punya self-esteem (harga diri) yang rendah karena berasal dari keluarga yang interaksinya tidak baik, tidak hangat, dan kemudian akhirnya akan mempengaruhi cara dia berhubungan dengan orang lain di luar keluarganya,” ujar Mellia.
Oleh karena itu, jalinan keluarga yang hangat dapat berdampak positif terhadap mental anak dan berperan besar dalam membangun persepsi terkait hubungan interpersonal pada anak. (ant/feb/saf/iss)