Jumat, 22 November 2024

Perlu Literasi Digital Untuk Cegah Perempuan Terjebak Pinjol

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Dewa Ayu Laksmi Asisten Deputi Pengarustamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam diskusi daring tentang strategi Perlindungan konsumen perempuan dalam ekosistem fintech yang diikuti di Jakarta, Selasa (5/12/2023). Foto : Antara/ tangkapan layar

Dewa Ayu Laksmi Asisten Deputi Pengarustamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan perlu adanya edukasi literasi digital dan penggunaan ponsel khususnya pada perempuan sebagai cara untuk mengantisipasi jebakan pinjaman online (pinjol).

“Kita perlu kembangkan di literasi digital. Jadi, bagaimana penggunaan ponsel pintar untuk mengantisipasi tawaran-tawaran. Untuk literasi digital ini, kita Indonesia masih kurang, karena kan kalau ponsel pintar pasti melalui aplikasi kalau literasi ini tidak bagus atau tidak baik membacanya akan terjebak karena iming-imingan,” ujar Laksmi dalam diskusi tentang strategi Perlindungan konsumen perempuan dalam ekosistem fintech yang diikuti secara daring di Jakarta, seperti dilansir Antara, Selasa (5/12/2023).

Ia mengatakan berdasarkan data, perempuan pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai angka 65,09 persen sementara laki-laki sebesar 68,41 persen. Dan sebanyak 80,9 persen menggunakannya dari rumah, jadi berdasarkan pekerjaan, sebanyak 56,56 persen pengguna ponsel pintar adalah ibu rumah tangga dan 50 persennya tidak bekerja.

Munculnya fenomena pinjaman online (pinjol) di kalangan perempuan adalah karena rendahnya tingkat inklusi keuangan Perempuan seperti kepemilikan aset, serta rekening yang menjadi problematika dalam hal keuangan.

Laksmi mengatakan, kepemilikan aset menjadi hal yang penting bagi Perempuan untuk bisa mandiri sehingga jika ada hal yang insidentil perempuan dapat bertahan dan dapat menyelesaikan permasalahan finansialnya sendiri.

“Saya perhatikan, jangan kan perempuan terutama di desa-desa mereka tabungan saja tidak punya. Jadi, mereka bekerja hari ini untuk makan hari ini. Nah, kemudian ketika mereka di tawaran Tabungan mereka masih juga menemukan problem bahwa mereka keberatan di administrasi yang dipotong tiap bulan Rp 15.000 buat mereka itu jumlah yang cukup banyak, kadang-kadang tidak mau,” katanya.

Laksmi mengatakan, Perempuan yang terjerat pinjol karena menganggapnya sebagai jalan pintas yang singkat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan keuangan, serta tidak ada syarat yang kompleks seperti jika meminjam di bank.

Pada tahun 2022, data partisipasi Angkatan kerja laki-laki mendominasi yakni 86,37 persen, sementara Perempuan 61,82 persen juga dinilai Laksmi sebagai kesenjangan yang menjadikan Perempuan 30 persen lebih rendah untuk kemungkinan bekerja. Hal ini dikarenakan dampak dari masih adanya budaya patriarki dan hambatan tersembunyi untuk Perempuan dalam mencapai posisi, mengambil Keputusan dan keterbatasan untuk kemajuan karir.

Adanya kesenjangan ini juga menjadi tantangan pemerintah untuk mewujudkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan yang ditargetkan akan mencapai 55 persen sesuai Amanah RPJMN 2020-2024.

“Jadi, harapannya sih memang mereka memiliki kualifikasi yang sama dan kompetensi yang sama dengan laki-laki, ya. Bahkan di beberapa bidang, perempuan itu lebih terlihat lebih baik, lebih unggul. Jadi, ini juga yang menjadi hambatan,” ujar Laksmi.

Dari adanya Bulan Fintech Nasional 2023, Laksmi berharap pihak terkait dapat memberikan edukasi yang lebih intensif kepada Masyarakat terutama Perempuan agar tidak terjerumus kepada pinjaman illegal yang marak ditawarkan.(ant/faz)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs