A. Kasandra Putranto Psikolog dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa fenomena child grooming yang belakangan ini sedang ramai dibicarakan masyarakat merupakan salah satu upaya memanipulasi hingga melecehkan anak maupun remaja.
“Menurut National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), grooming merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan mereka,” jelas Kasandra seperti dilaporkan Antara, Jumat (3/3/2023).
Kasandra menjelaskan bahwa umumnya upaya grooming tersebut dilakukan melalui tindakan yang diam-diam menghanyutkan karena tidak disertai dengan kekerasan dalam upaya untuk akses seksual dan mengontrol korban.
Dalam hal ini, Kasandra mengatakan bahwa child grooming bisa terjadi karena beberapa faktor penyebab, dari internal maupun eksternal, misalnya dari pelaku, korban, bahkan lingkungan.
“Fenomena child grooming ini terjadi karena dua faktor pendukung, yang pertama adalah faktor internal, yang mana faktor internal ini terjadi melalui diri korban dan pelaku (groomer) itu sendiri. Faktor internal dari korban adalah mudahnya penerimaan yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku (groomer),” kata Kasandra.
Ia menambahkan anak-anak maupun remaja sangat rentan terhadap manipulasi seperti ini, karena belum mempunyai pola pikir yang matang dan mampu untuk mengambil keputusan secara pribadi.
“Dalam fenomena child grooming ini, korban adalah anak di bawah 18 tahun yang berarti memiliki pola pikir yang belum matang sehingga rentan untuk mengambil suatu keputusan. Faktor internal dari pelaku adalah adanya gangguan kejiwaan yang dialami oleh pelaku,” sambungnya.
Lebih dalam, Kasandra memaparkan bahwa adanya trauma masa lalu seperti penolakan oleh lawan jenis seusia membuat pelaku memilih untuk mendekati dan menjalin hubungan dengan anak dibawah umur, karena pelaku berpikiran bahwa tidak akan adanya penolakan dari anak di bawah umur.
Selain itu, faktor tidak seimbangnya hormon estrogen membuat pelaku merasa terangsang oleh anak di bawah umur dibandingkan lawan jenis seusia.
“Kemudian faktor eksternal penyebab adanya child grooming adalah kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dalam memberikan fasilitas gadget dan menggunakan media sosial,” ucap Kasandra.
Faktor lainnya yang cukup berperan adalah kurangnya perhatian dari orang tua terhadap kehidupan anak sehari-hari, sehingga kurangnya pengawasan tersebut ikut menjadi penyebab.
“Kurangnya perhatian orang tua dalam pergaulan anak pun menjadi faktor eksternal penyebab adanya child grooming. Adapun, faktor eksternal bagi pelaku adalah terpengaruh karena film, video, bacaan yang memuat konten pornografi yang mengarah kepada perilaku penyimpangan seksual, serta proses sosialisasi yang tidak sempurna,” lanjutnya.
Untuk mencegah fenomena ini, Kasandra mengatakan bahwa terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua. Misalnya dengan memberi pemahaman tentang pentingnya keterbukaan hingga menciptakan komunikasi yang baik dengan anak.
Tak hanya itu, Kasandra juga mengatakan bahwa orang tua juga perlu mengajarkan tentang consent dan hubungan romantis. Meskipun anak belum berkencan, orang tua perlu menjelaskan tentang kapan waktu yang tepat untuk berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman atau terlibat dalam aktivitas seksual di waktu yang tepat agar anak lebih bijaksana.
“Menghindari child grooming memerlukan peran dan kerjasama dari seluruh anggota keluarga. Orang tua diharapkan untuk berpartisipasi secara aktif untuk mengawasi dan mengajari anak,” kata Kasandra.(ant/iss/faz)