Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Jakarta, mengatakan ada perbedaan antara gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan sesak napas dan asma biasa.
“Bedanya, sesak napas pada asma akan hilang sepenuhnya di luar waktu serangan asma, sementara sesak napas pada PPOK akan masih tetap ada,” kata Tjandra Rabu (15/11/2023), dilansir Antara.
Menurutnya, PPOK ditandai adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif, serta berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan.
Selain sesak napas, mereka yang mengalami PPOK juga bergejala antara lain batuk-batuk selama dua minggu, batuk berdahak, dan apabila memburuk disertai sesak napas. Kadang-kadang juga disertai mengi dan bertambahnya intensitas batuk, disertai meningkatnya dahak.
Sementara gejala non-spesifik PPOK, kata Prof Tjandra yakni lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah dan depresi.
Dokter spesialis paru itu lalu menuturkan sudah banyak data ilmiah yang menunjukkan kalau polusi udara dapat memperburuk keadaan PPOK pada seseorang.
“Juga akan lebih sering eksaserbasi (perburukan atau kekambuhan gejala) dan lebih berat keluhan sesak napasnya,” tutur dia.
Selain itu, seorang pasien PPOK yang terkena Covid-19 juga akan dapat menjadi lebih berat. Ini karena PPOK adalah salah satu komorbid yang memperberat situasi Covid-19 pada seseorang.
Kemudian, bertepatan dengan Peringatan PPOK Sedunia, Tjandra mengingatkan masyarakat bahwa PPOK adalah penyebab kematian utama di dunia dan masalah kesehatan paru-paru yang penting.
Peringatan PPOK Sedunia yang mengusung tema Bretahing is Life – Act Earlier, sambung dia, menunjukkan peran penting bernapas dalam kehidupan, dan PPOK harus dicegah.
Menurut Tjandra, apabila tidak berhasil dicegah, maka PPOK harus didiagnosis segera. Apabila sudah didiagnosis, harus mendapat penanganan yang baik oleh fasilitas pelayanan kesehatan agar kualitas hidup pasien PPOK dapat tetap terjaga sesuai kemampuannya.
“Kalau pasien PPOK tidak ditemukan dan didiagnosis dini maka keterlambatan akan meningkatkan kemungkinan eksaserbasi, meningkatkan komorbiditas dan bahkan lebih menghabiskan biaya penanganan pula,” catatnya.
Tjandra menambahkan, kebiasaan merokok merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian dan perburukan PPOK. Untuk itu, orang-orang diharapkan memanfaatkan momentum Hari PPOK sedunia pada 15 November ini untuk berhenti merokok.
Kemudian, selain merokok sebagai faktor penyebab utama PPOK, masih ada faktor risiko PPOK yakni riwayat keluarga, riwayat infeksi paru-paru dan saluran napas ketika anak-anak, kekurangan enzim alfa 1 antitripsin serta berbagai jenis polusi udara yang kronik. (ant/mel/bil/ipg)