Jumat, 22 November 2024

Toxic Masculinity Hambat Operasional Perusahaan

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi toxic masculinity. Foto: Pixabay

Toxic masculinity atau maskulinitas beracun, adalah anggapan mengenai perilaku laki-laki yang terbentuk oleh masyarakat atau sosial.

Fenomena maskulinitas beracun dapat menimbulkan dampak external, salah satunya menghambat operasional perusahaan atau organisasi dan itu harus dibenahi.

Toxic masculinity ini merupakan anggapan yang salah kaprah tentang bagaimana seorang laki-laki harus bersikap. Seperti misalnya anggapan di masyarakat bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Tentu anggapan tradisional maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja,” ujar Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) dikutip Antara, Sabtu (19/3/2022).

Dampak dari toxic masculinity adalah adopsi perilaku negatif pada laki-laki yang berbahaya bagi perempuan, masyarakat maupun laki-laki itu sendiri.

Bentuk adopsi perilaku negatif ini bisa berupa tampilan dominasi yang tidak diinginkan, pengambilan risiko yang tidak bertanggung jawab dan kebencian terhadap perempuan. Lebih lagi perilaku bias yang negatif ini bisa tertanam di dalam bawah sadarnya.

Rudy Manik Chief Human Resources Officer FWD Insurance Indonesia, menambahkan, tantangannya adalah terkadang laki-laki terperangkap dalam situasi di mana mereka harus memenuhi tuntutan yang harus dicapai.

Upaya pemenuhan tuntutan tersebut menjadi salah satu faktor timbulnya perilaku toxic masculinity. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya organisasi agar lebih setara harus datang dari pimpinan perusahaan.

“Kita tentukan dahulu perilaku apa yang harus ditampilkan, baik pada saat berinteraksi, berkompetisi, dan penyampaian target kinerja, dan itu semua dimulai dari atas,” kata Rudy Manik.

Sementara itu Indra Gunawan, Plt Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan masih banyak tantangan yang dihadapi terutama untuk menghilangkan batasan-batasan norma sosial budaya yang bisa menghambat perempuan.

“Kita juga perlu banyak belajar dan berproses untuk memahami isu-isu gender serta kebutuhan perempuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang setara,” ungkap Indra Gunawan.

IBCWE meluncurkan hasil survei mengenai Toxic Masculinity yang dilakukan pada Februari 2022 guna memotret peran maskulinitas yang salah kaprah dalam dinamika kesetaraan gender di tempat kerja.

Peluncuran hasil survei ini dilakukan dalam kegiatan memperingati Hari Perempuan Internasional pada 11 Maret 2022 yang bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), berkolaborasi dengan FWD Insurance Indonesia, dan dukungan dari PT Bank BTPN, L’Oréal Indonesia, serta Pemerintah Australia melalui program Investing in Women.

Survey ini memetakan 10 toxic masculinity yang ada di dunia kerja di Indonesia, dari hasil survei tersebut mauyoritas responden setuju dengan adanya maskulinitas yang salah kaprah ini.

“Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya masih memiliki standar yang sulit dicapai oleh laki-laki. Standar yang tidak dapat dicapai inilah yang bisa mendorong perilaku atau atau budaya kerja yang negatif. Seperti misalnya budaya kerja saling sikut, mendahulukan pekerjaan atau tidak pernah mengakui kesalahannya,” kata Maya.

Hasil temuan survei ini menyatakan bahwa sebanyak 91 persen responden tidak setuju apabila laki-laki tidak memerlukan teman mencurahkan perasaan.

Lalu diikuti oleh 88 persen yang tidak setuju kalau laki-laki tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, lalu laki-laki harus lebih dominan dari perempuan dalam segala hal sebanyak 80 persen.

Serta laki-laki tidak perlu mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sebanyak 95 persen responden yang tidak setuju. Hal ini menampik anggapan sosial bahwa tugas domestik hanya dilakukan oleh perempuan.

IBCWE melakukan survei cepat ini pada 896 orang selama bulan Februari 2022. Responden tersebut terbagi atas 532 perempuan (59,4 persen), 362 laki-laki (40.4 persen), dan 2 orang yang tidak menyebutkan jenis kelaminnya (0,2 persen).

Sebagian besar responden berusia 25-34 tahun, yaitu sebanyak 311 dan terdiri dari 123 laki-laki (34 persen), 187 perempuan (35 persen), dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya.(ant/wld/ipg)

 

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs