Eric Yosua Pengamat Pariwisata menilai ikon kota punya peran penting untuk menunjang pendapatan asli daerah (PAD) suatu kabupaten maupun kota, khususnya dari sektor pariwisata.
Apabila di sekitar ikon itu dibangun hotel, restoran, kemudian infrastruktur penunjangnya diperbaiki atau dilengkapi, maka akan ada potensi PAD yang masuk ke kas daerah karena wisatawan merasa nyaman berkunjung ke sana.
Ikon kota menjadi kebutuhan di tengah era media sosial yang berkembang pesat dan cepat. Karena, menurutnya, para kreator konten membutuhkan bahan untuk diposting di akun mereka.
“Bicara tentang ikon kota, mau tidak mau harus bicara tentang sosial media karena membawa banyak pengaruh untuk perubahan behavior (perilaku). Gampang viral lah istilahnya,” kata Eric kepada Radio Suara Surabaya, Sabtu (29/1/2022).
Foto yang diposting di media sosial, kata Eric, menjadi hal yang paling dipertimbangkan di era saat ini. Di Jawa Timur sendiri Eric menilai banyak ikon daerah yang bisa digali, dieksplor, dan dijual dengan baik.
Salah satunya, kata dia, mysteryous road di Gunung Kelud, Kediri. Kemudian patung Budha tidur di Mojokerto. Demikian halnya Monumen Kapal Selam di Kota Surabaya.
Tidak hanya itu, Kota Surabaya juga punya sejumlah ikon lain yang cukup lekat di benak wisatawan selain Kebun Binatang Surabaya. Sebut saja Museum di Tugu Pahlawan, Jembatan Suroboyo di Kenjeran, dan lain sebagainya.
“Bahan untuk dieksplor banyak tapi instrastrukturnya jauh. Kalau mau suatu ikon daerah itu sukses, bikin pariwisata yang terintegrasi seperti di Bali. Karena di Bali itu satu pulau yang obyek wisatanya berdekatan,” ungkapnya.
Kenapa Bali bisa berkembang pesat wisatanya, menurut Eric karena di sana pelaku pariwisatanya sudah sadar komisi. Eric mencontohkan, bila ada taksi yang mengajak wisatawan untuk berbelanja atau mengunjungi di suatu destinasi, mereka akan menjamu sopirnya. Hal itu seperti terjadi juga di Yogyakarta.
“Di jatim belum sampai level itu,” ujar Eric.
Selain infrastruktur dan integrasi tempat wisata, hal yang tak kalah penting yaitu konsistensi jam buka dan jam tutup. Karena tidak jarang ditemui, ikon daerah itu punya jam operasional yang tidak pasti dan tidak bisa diketahui oleh pengunjung maupun calon pengunjung.
Dia sampaikan juga pengalamannya terkunci saat berkunjung ke Museum Kesehatan Surabaya bersama sejumlah mahasiswanya. Karena petugas mengira tidak ada orang di sana, dan karena Eric sebelumnya memang tidak membuat janji.
“Kalau enggak ada tamu, enggak janjian dulu sebelum berkunjung ke sana biasanya mereka tutup. Seperti itu susah (untuk berkembang) kalau jamnya gak pasti. Padahal kalau bicara jam kerja, harusnya Senin-Jumat paling nggak dari jam 08.00 WIB-16.00 WIB. Pengelola obyek wisata juga harus bikin official akun dan menonjolkan foto-foto,” kata Eric.(dfn/den)