Cerita tentang Hari Raya Idulfitri tidak terlepas dari sebuah perjalanan diri untuk menuju jiwa yang suci. Begitupun Umar, kakek 69 tahun asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berjalan kaki ke berbagai makam sunan di Pulau Jawa bersama tiga rekannya demi mencari sebuah tujuan, yaitu rasa ikhlas.
Umar yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu juga mengabdi di Pondok Pesantren Saleko Bima sejak tahun 1976.
Dia bercerita, awal mula perjalanannya karena pernah diajak oleh Tuan Guru (sebutan kyai bagi orang Bima) Alm. Hj. Romli Ahmad, Qori Internasional asal NTB yang melegenda pada dekade 1980 an.
“Saya bersama pak Ahmad dan pak Gani, keduanya ustaz. Tujuan kami berziarah ke makam wali untuk mendoakannya sebagai rasa terima kasih,” kata Umar saat berjumpa dengan tim suarasurabaya.net usai salat id di Masjid Al Akbar Surabaya, Senin (2/5/2022) kemarin.
Mereka memulai perjalanan dari Bima sekitar minggu pertama bulan Februari lalu dengan naik bus jurusan Jakarta dan turun di Cirebon. Tujuan pertama ke makam Syech Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
“Alhamdulillah di sana kami diizinkan menginap di pelataran masjid, selama kegiatan di sana selain mendoakan sunan kami juga mengkhatamkan Al-Quran sebanyak dua kali,” katanya.
Umar bersama rombongannya menginap di Sunan Gunung Jati kurang lebih selama sembilan hari. Kemudian melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke tempat Sunan Kalijaga di Demak, Jawa Tengah.
Dirinya bercerita selama perjalanan menuju Demak memakan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 20 hari. Sempat ditawari tumpangan oleh beberapa rombongan peziarah lain, namun Umar memilih jalan kaki sesuai dengan tujuan awal.
Selama 20 hari perjalanan setapak demi setapak yang mereka lalui, tentu tidak mudah. Terutama saat sampai di alas Roban, Jawa Tengah.
“Dalam perjalanan itu kami sudah mulai kelelahan, apalagi saat sampai di alas Roban. Kami sangat lama di situ karena saat gelap banyak warga yang melarang kami untuk terus melanjutkan perjalanan,” ucapnya.
Perjalanan tetap mereka lalui, meski harus menginap berkali-kali di tempat seadanya di alas Roban. Barangkali cerita Umar mengingatkan strategi Jenderal Sudirman yang bergerilya menyusuri hutan untuk mengalahkan tentara Belanda.
Berselang 20 hari melewati hutan dan menyisir jalur Utara, akhirnya mereka tiba di Kota Demak.
“Kami senang saat tiba di Demak, kami disambut dengan baik oleh orang-orang di sana,” jelasnya.
Aktivitas yang dilakukan saat di makam Sunan yang terkenal karena kidungnya itu kurang lebih sama seperti yang sebelumnya, yaitu mendoakan Sunan Kalijaga dan mengkhatamkan Al-Quran.
Melihat ada salah satu rekannya yang mulai kambuh sakitnya karena penyakit kronis yang dideritanya, Umar dan kawan-kawannya mempercepat perjalanan spiritualnya di sana. Mereka hanya bermalam selama enam hari.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Sunan Kudus, yang menurut Umar letaknya tidak jauh dari Kecamatan Katilangu tempat Sunan Kalijaga. Mereka menempuhnya dalam waktu dua hari.
“Saat tiba di Sunan Kudus kami istirahat total, karena ustaz Ahmad mulai kelelahan dan sakitnya kambuh badannya keringatan dan wajahnya sampai pucat sekali,” kata Umar.
Selama perjalanan berlangsung, kata Umar, ustaz Ahmad sedang belajar puasa air. Berbuka dengan air dan sahur dengan air.
Selama di Sunan Kudus, Umar melakukan khataman satu kali dan bermalam sekitar enam hari.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju ke makam Raden Umar Said atau Sunan Muria di ketinggian Gunung Muria. Perjalanan kali ini Umar berkompromi dengan niatan awalnya, karena ada rekannya yang sakit sehingga mereka menerima tumpangan dari salah satu rombongan santri dengan tujuan yang sama.
Perjalanan tiga sekawan ini tidak selalu mulus. Kali ini ustaz Gani dan ustaz Ahmad mulai sakit, bahkan ustaz Ahmad yang kembali kambuh sakitnya hingga menderita tifus.
“Setelah salat Maghrib dia muntah-muntah, Alhamdulillah kami banyak bertemu orang baik. Kami bertemu Kyai yang punya pondok pesantren di daerah Pati, kami dibantu sama beliau,” ujarnya.
Saat tiba di Pati, Umar melaporkan kondisi mereka ke Pondok Saleko. Pihak pondok mengatakan bahwa perjalanan tidak perlu dipaksakan.
Namun Umar yang sudah berjuang separuh perjalanan tetap bersikeras melanjutkan kembali perjalanan itu demi menjalani suatu proses.
“Saya masih penasaran, karena sudah empat Wali kami lalui. Akhirnya saya tetap melanjutkan perjalanan.”
Kondisi ini cukup sulit bagi Umar yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa, namun harus melanjutkan perjalanan seorang diri karena kedua rekannya yang sakit harus kembali ke Bima.
Umar hanya beristirahat di Pati selama dua hari, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini ia diantar oleh pengabdi santri di Pati untuk menuju ke Sunan Bonang, Tuban.
Namun sebelum ke Sunan Bonang, dalam daftar catatannya dia harus mengunjungi makam Maimun Zubair atau sapaan akrabnya Mbah Moen, ulama ternama dari NU. Makam Mbah Moen ada di Rembang yang meninggal pada 6 April 2019.
“Karena saya sendirian, saya tidak diizinkan jalan kaki ke Sunan Bonang sendiri,” ucapnya.
Saat sampai di Sunan Bonang, Tuban, Jawa Timur, Umar kembali dilepas sendirian. Lagi-lagi cobaan menimpanya, kali ini dia tidak diperbolehkan menginap di sekitar masjid Sunan Bonang.
Tidak berhenti sampai di situ, saat Umar beristirahat di sebuah taman di sekitar situ ia kehilangan tasnya. Tas yang hanya berisi pakaian itu raib dicuri maling. Bahkan ia tidak bisa menyelesaikan khataman.
Perjalanan yang memasuki bulan Ramadan itu dirasa Umar sangat berat. Kendala dan cobaan terus berdatangan, namun dia terus mengingat kembali tujuan perjalanannya yaitu untuk mengerti sebuah rasa ikhlas.
“Untungnya tas saya yang satunya tidak hilang, karena di dalamnya ada surat-surat dan buku catatan dari Pondok,” jelas dia.
Umar semakin meneguhkan hati dan menguatkan niat demi menuntaskan sebuah perjalanan, akhirnya perjalanan kembali dimulai menuju ke wilayah pesisir Paciran, Lamongan untuk berziarah ke Sunan Drajat.
Umar kembali mengucap syukur saat sampai di Sunan Drajat, dirinya diterima dengan baik dan kembali bisa melanjutkan khataman Al-Quran di sana.
“Saya sangat nyaman saat di Sunan Drajat, saya bisa tidur di musala yang terbuat dari kayu di sana dan bisa beribadah dengan nyaman,” imbuhnya sambil mengucap syukur dan matanya berkaca-kaca.
Setelah satu minggu bertempat di Sunan Drajat, dirinya kembali menapakkan kaki menyisiri jalur utara Jawa Timur untuk menuju ke Sunan Giri, Gresik. Perjalanan dia tempuh sendirian selama satu hari satu malam.
Selama perjalanan, Umar banyak ditawari tumpangan oleh pengendara yang lewat. Karena tidak mau merepotkan dan niat sudah bulat, Umar selalu menolak dengan halus tawaran-tawaran dari orang baik itu.
“Saya sempat heran, kok tiba-tiba sudah sampai di perbatasan Lamongan-Gresik,” katanya.
Selama perjalanan dari Tuban hingga sampai di Gresik, Umar banyak menjumpai beberapa orang yang memakai pakaian hitam-hitam sambil membawa tongkat juga melakukan perjalanan yang sama dengan dirinya.
Selama satu minggu di makam Sunan Giri dan makam Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Umar melanjutkan perjalanan ke Surabaya, Sunan Ampel dalam satu malam. Dalam perjalanan menuju Surabaya, dia jalan bersama rombongan musafir lain.
“Alhamdulillah di Ampel sudah 15 hari hingga hari Raya Idulfitri ini, saya diterima dengan baik dan sangat nyaman tempatnya,” ujar Umar.
Bahkan saat di Ampel, Umar bisa melakukan khataman sebanyak dua kali di sisa-sisa waktu bulan Ramadan. Dia menutup hari kemenangan dengan kembali melakukan perjalanan ke Masjid Nasional Al Akbar Surabaya.
“Saya dengar dari musafir lain ada Masjid Al Akbar namanya, akhirnya saya berangkat dari Ampel pada malam takbir, dan sampai jam tiga pagi. Saya jalan pelan-pelan sambil melihat sudut-sudut Kota Surabaya,” ucapnya sambil meneteskan air mata.
Perjalanan yang sudah memasuki bulan keempat itu banyak memberikan Umar sebuah makna dan pelajaran. Sebuah perjalanan dalam mencari makna ikhlas dan suatu proses hidup sudah dia tuntaskan.
Barangkali cerita Umar mengingatkan di balik momentum hari kemenangan ini terdapat sebuah tetes keringat dan pengorbanan yang harus dilakukan.
Mulai dari kehilangan barang, rekan perjuangan yang sakit, rasa lelah yang tiada henti, hingga melakukan perjalanan seorang diri.
Kata Umar, persoalan hidup adalah sebuah perjalanan yang mana di balik itu ada masalah dan tujuan yang harus dituntaskan dengan rasa ikhlas.(wld/dfn)