Dokter spesialis anak dr. Ayi Dilla Septarini, Sp.A dari Universitas Indonesia menganjurkan orang tua untuk mengatur jadwal bermain anak saat Ramadhan agar buah hati tidak kehabisan energi dan kuat berpuasa.
Setelah sahur dan shalat subuh, buah hati boleh dibiarkan untuk tidur sejenak sebelum jadwal sekolah dimulai. Setelah shalat subuh sebaiknya batasi kegiatan anak, jangan biarkan anak jalan dalam jarak jauh atau melakukan olahraga yang menguras tenaga.
“Biarkan mereka bermain satu jam sebelum Maghrib,” kata dr. Ayi Dilla yang merupakan anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu dalam siaran resmi yang dilansir Antara, Rabu (28/4/2021).
Ketika anak mulai berlatih puasa saat Ramadhan, tubuh mereka menyesuaikan diri terhadap rasa lapar. Orangtua mungkin akan melihat anak-anak merasa lemas dan mengantuk. Beri anak waktu untuk tidur siang, namun jangan sampai berlebihan.
“Tawarkan anak aktivitas seperti belajar mengaji, membaca buku, mewarnai, atau aktivitas yang menyenangkan lainnya,” ujar dia.
Ajari anak puasa secara bertahap sesuai umurnya. Ayi mengatakan sebetulnya tidak ada patokan baku kapan waktu yang tepat bagi anak untuk berpuasa. Anak balita pun boleh berpuasa. Hanya saja, sebaiknya seorang anak dapat berpuasa secara bertahap, tidak langsung puasa sampai Maghrib.
“Pada usia 4 tahun, anak cukup hanya dilatih dengan puasa selama 3-4 jam tanpa makan. Sedangkan, usia 5-7 tahun dikategorikan sebagai usia yang cukup untuk menanamkan pengertian tentang puasa dan makanannya. Pada usia ini, anak-anak cenderung sudah mulai berpikir kritis. Inilah masa-masa paling penting dalam kehidupan mereka,” katanya.
Oleh karena itu, sesuaikan waktu berbuka sesuai kemampuan anak. Ketika baru berlajar puasa, balita yang biasanya sarapan pukul 07.00 bisa diajari untuk menunda hingga pukul 09.00 atau 10.00. Setelah sarapan yang tertunda, ajak balita lanjut berpuasa hingga boleh makan lagi pukul 15.00, kemudian lanjut lagi berbuka puasa bersama pada Maghrib.
Dia mengatakan pada umumnya, hal-hal yang membuat anak lemah saat berpuasa adalah karena anak berpuasa tidak bertahap sesuai kemampuannya. Anak yang berusia di bawah usia 7 tahun merupakan kelompok yang lebih berisiko mengalami hipoglikemia apabila berpuasa. Selain itu, kelompok usia ini lebih rentan mengalami kekurangan cairan. Perubahan pola tidur akibat bangun sahur juga dapat berdampak pada kemampuan di sekolah.
“Maka dari itu, agar anak tetap fit dan tidak lemas, lakukan durasi puasa secara bertahap. Jika tidak kuat, silahkan berbuka puasa karena anak-anak hukumnya belum wajib berpuasa.”
Dia menambahkan bahwa jika balita masih belum mampu bertahan, berikan mereka sedikit kelonggaran. Dalam satu bulan, balita mungkin akan melakukan peningkatan ketahanan berapa jam mereka bisa menahan lapar. Bahkan bisa jadi di akhir Ramadhan mereka mampu tidak sarapan hingga pukul 12 siang.
Saat berbuka puasa, dia menyarankan orangtua memberi asupan seperti kurma atau sup buah untuk mengganti kalori yang hilang. Setelah shalat Maghrib, berikan anak makan besar. Lalu, setelah shalat tarawih, anak bisa diberi kudapan bergizi seperti kroket atau risoles.
Dokter memberikan kiat untuk orangtua yang ingin mendorong anak termotivasi untuk berpuasa. Memberikan hadiah sederhana agar anak bersemangat boleh-boleh saja, seperti membuat makanan atau minuman favorit untuk berbuka puasa. Tanamkan juga keinginan berpuasa dalam hati anak-anak dengan cara memberikan pendidikan agama secara tersirat.
Kemudian, beri anak pengenalan sederhana mengenai manfaat puasa untuk kesehatan, seperti untuk memperbaiki sel-sel kekebalan tubuh yang rusak agar ia tidak mudah sakit sehingga ia bisa belajar dan bermain lebih lama. Hal ini terjadi karena pada saat berpuasa, sistem kekebalan di dalam tubuh akan menghemat energi dengan cara meregenerasi sel-sel kekebalan tubuh yang rusak atau sudah tua untuk diganti dengan sel imunitas yang baru.
“Dengan memahami manfaat puasa untuk kesehatan, anak-anak tentu akan lebih bersemangat dalam menjalankan puasa,” kata Dokter Spesialis Anak Primaya Hospital Bekasi Barat itu.
Orangtua juga bisa menumbuhkan semangat kompetitif. Misalnya, orangtua bisa memberi contoh kepada si kecil mengenai teman-teman seusianya yang sudah mulai berpuasa. Dengan hal seperti ini, si kecil tentu akan kembali bersemangat dan tidak mau kalah dengan teman-temannya yang sudah mulai berpuasa. Terakhir, proses itu penting jadi ajakan puasa secara bertahap.(ant/iss)