Jumat, 22 November 2024

Memperingati Hari Film Nasional 2021, Mengingat 100 Tahun Kelahiran Usmar Ismail

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Usmar Ismail, pelopor drama modern di Indonesia dan juga Bapak Film Indonesia. Foto: Google

Tanggal 30 Maret 1950 punya catatan penting untuk dunia perfilman Tanah Air. Pada tanggal tersebut, untuk pertama kalinya film cerita diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia, Usmar Ismail.

Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 adalah menetapkan hari shooting pertama pembuatan film nasional yang pertama, The Long March atau Darah dan Doa sebagai Hari Film Indonesia. Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail (Perfini) dan Djamaludin Malik (Persari) diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional. Tetapi Pemerintah baru mengeluarkan peraturan perundangan resmi mengenai penetapan Hari Film Nasional (HFN) pada 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999

Sosok Usmar Ismail kerap dikaitkan dengan HFN. Usmar yang lahir pada tanggal 20 Maret 1921 mulai menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP, saat dia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.

Setelah duduk di bangku SMA, di Yogyakarta, keterlibatan Usmar dalam bidang sastra makin terasah. Dia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Dia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.

Bakat Usmar berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, dia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.

Pada 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, juga Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya.

Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat. Kehadiran kelompok sandiwara itu kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.

Setelah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Bersama dua rekannya, dia mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat, juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena.

Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi ketika menjalankan profesi sebagai wartawan.

Sutradara film Lewat Djam Malam (1954) itu tercatat pernah bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda – RI di Jakarta, pada tahun 1948.

Pada perkembangan selanjutnya, Usmar mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman.

Film-film yang pernah disutradarai oleh Usmar Ismail antara lain, “Darah dan Doa” (1950), “Enam jam di Yogya” (1951), “Dosa Tak Berampun” (1951), “Krisis” (1953), “Kafedo” (1953), “Tiga Dara” (1955) dan “Pejuang” (1960).

Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 karena stroke dalam usia hampir genap 50 tahun.

Tahun ini HFN 2021 sekaligus merayakan 100 tahun kelahiran Usmar Ismail sebagai tokoh perfilman Indonesia. Serangkaian kegiatan akan diselenggarakan baik secara daring maupun luring dengan memenuhi protokol kesehatan karena masih dalam suasana pandemi Covid-19. Kegiatan yang diinisiasi oleh insan perfilman dan didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan rencananya akan terselenggara di beberapa lokasi antara lain Jakarta, Bukit Tingggi, Makasar, Aceh, Tapanuli, Bengkulu dan lain-lain. Dan bersinergi dengan pemerintah daerah, Asosiasi dan komunitas film.

Pelaksanaan pameran Usmar Bukittinggi oleh dalam rangkaian #100tahunUsmarIsmail adalah kegiatan yang menjadi istimewa mengingat ini adalah kali pertama sebuah penyelenggaraan pameran arsip dan kekaryaan Usmar Ismail di tanah kelahirannya. Program pameran akan bersinergi dengan pemutaran virtual karya Usmar Ismail di Kinosaurus dan Kineforum Jakarta, juga rangkaian panel diskusi di Makassar yang menghadirkan antara lain Prof Dr Alwi Dahlan, Mira Lesmana, JB Kristanto, Ine Febrianty dan lain lain.

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan mengatakan “Kemajuan perfilman Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Meski secara kuantitas dan perputaran industri jelas merosot terimbas pandemi Covid-19, pembuat film malah semakin kreatif dalam berkreasi dan mencari jalan keluar dari berbagai hambatan mengingat antusiasme masyarakat untuk menonton juga semakin tinggi.”

Beliau juga mengapresiasi keterlibatan pemerintah daerah dan seluruh masyarakat untuk memajukan perfilman Indonesia dalam wujud penguatan pendidikan dan literasi, untuk menumbuhkan semangat cinta tanah air, pembangunan karakter bangsa, serta peningkatan nilai-nilai budaya.

Sejalan dengan itu, Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru menerangkan bahwa Hari Film Nasional merupakan hari bersejarah yang diperingati oleh seluruh masyarakat, yang dapat mendorong lahirnya film-film dengan nilai pendidikan dan budaya yang beragam. “Pemajuan perfilman Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia.” jelas Ahmad Mahendra.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs