Yanuar Ekklesia pengrajin batik asal Surabaya optimistis, masih ada potensi kesenian batik dalam segi industri dan pelestarian budaya di masa depan.
Ia menganggap batik tidak pernah mati karena batik tidak hanya dibuat di atas kain, akan tetapi bisa diterapkan pada sepatu dan di masa depan bisa jadi dalam bentuk lainnya.
Yanuar mengatakan, “ini kesempatan untuk melestarikan budaya, ini kesempatan agar batik lebih mendunia dan dapat diakui bahwa batik adalah karya dari Indonesia.”
Namun dia memberikan catatan khusus terkait potensi itu, yakni persoalan regenerasi pengrajin kesenian batik. Menurutnya, rata-rata pengrajin batik saat ini berusia sekitar 50 tahun ke atas.
“Jika dalam kurun waktu 10-20 tahun kurang adanya regenerasi, maka tidak menutup kemungkinan kesenian batik perlahan akan menghilang,” ujar Yanuar saat mengudara bersama Radio Suara Surabaya, Sabtu (2/10/2021).
Meskipun apresiasi dari masyarakat cukup bagus dan ada upaya Pemerintah Kota Surabaya turut andil dalam proses pemasaran, Alumni Jurusan Desain dan Kriya Tekstil SMKN 12 Surabaya itu menyarankan agar pengrajin batik menciptakan pasarnya sendiri.
“Meskipun market dari pemerintah bagus dan relasinya juga, tapi jangan terlalu diandalkan. Ciptakanlah pasar kita sendiri, pasar yang mana berisi orang-orang yang mencintai batik,” tegas Yanuar.
Pria 26 tahun itu mengatakan, industri batiknya pernah mencapai pasar internasional, tahun lalu.
“Saya punya market sendiri, pencapaian kami di tahun lalu berhasil mengirim batik ke London, Korea Selatan, dan Jerman. Dalam bentuk kain dan masker,” imbuh Yanuar.
Dalam pengerjaan proyek besar dengan pesanan yang begitu banyak hingga pesanan dari luar negeri, Yanuar biasanya akan mengajak para pengrajin yang ada di Kota Surabaya serta siswa-siswi Jurusan Desain dan Kriya Tekstil SMKN 12 Surabaya untuk berkolaborasi.
Tujuan Yanuar berkolaborasi tidak lain untuk mencapai pemerataan ekonomi, karena menurutnya titik kesejahteraan belum dicapai para pengrajin yang sudah sepuh.
Dia tidak ingin hanya karena faktor kesejahteraan para pengrajin batik semangat belajar generasi muda untuk membatik semakin memudar.
“Untuk melestarikan budaya kita butuh regenerasi. Kalau anak kecil melihat orang tua mereka membatik dengan keadaan tidak sejahtera kemungkinan besar mereka tidak mau menjadi pengrajin batik,” kata Yanuar.
Pesan itu khusus dia sampaikan kepada para juragan batik untuk memberikan upah yang layak. Ia juga membocorkan tips, bagaimana memberikan sedikit upah tambahan kepada para pegawai.
“Sebelum bekerja sama saya akan bertanya, berapa upah untuk mengerjakan batik ini? Biasanya saya tingkatkan 5-10 persen dengan catatan pekerjaan bagus dan tepat waktu,” ujarnya.
Yanuar juga berpesan kepada para pengrajin batik untuk tidak berhenti berinovasi karena akan membuat generasi muda kurang berminat.
“Terkait inovasi di tempat saya sendiri sudah menggunakan canting elektrik, yang mana lebih efesien, praktis, dan murah biaya. Perpaduan teknologi akan membuat anak muda tertarik untuk belajar lebih dalam dan tentu tanpa mengurangi esensi membuat batik,” katanya.
Yanuar mengaku akan sangat terbuka bila Pemkot Surabaya mengajaknya bekerja sama untuk mengerjakan seragam batik bagi para ASN.
“Kami tentu akan senang sekali dan bakal melibatkan banyak pengrajin di Kota Surabaya untuk bekerja sama,” ucap Yanuar sebagai pesan penutup.(wld/den)