Jajanan yang identik dengan Kota Semarang ini, nyatanya banyak digemari di Surabaya. Hingga, ada satu kampung di Ngaglik gang 5 yang belasan warganya memproduksi, Lumpia. Dari sini, jualan mereka menyebar ke penjuru kota. Mulai dari gerobak di pinggir jalan, ada yang dipanggul keluar masuk kampung. Hingga yang mangkal di taman-taman dan tempat wisata.
Salah satu pembuat lumpia di Ngaglik, adalah Bapak Kasno yang sudah belasan tahun memproduksi lumpia. Mulanya, dia hanya menjualkan lumpia buatan tetangga, dengan keliling keluar masuk kampung.
Dia tak ingat kapan tepatnya mulai berjualan, yang dia ingat dari dulu dia dan pemuda di kampungnya sehari-harinya lebih banyak menjualkan lumpia buatan tetangga sendiri.
Hingga kini masih ada, posisinya saja yang berubah, Kusno kini memproduksi sendiri lumpia, dan gantian anak-anak muda di sekitar yang berjualan. “Tak hanya dari wilayah sini, dari Wiyung hingga Sidoarjo ambil lumpia dari sini, dijualnya di dekat-dekat tempat tinggal mereka,” ungkapnya.
Suatu siang suarasurabaya.net berkunjung ke dapur Kasno. Lumpia tersisa hanya satu keranjang. “Yang lain sudah diambil sejak pagi tadi, sudah dibawa keliling,” terangnya. Kasno memang membuat lumpia selepas Subuh sampai menjelang siang.
Sejurus kemudian datang pemuda membawa kardus kosong ukuran besar yang langsung memindah lumpia dari keranjang tadi. “Saya bawa ke Sidoarjo. Ada lomba burung di sana, pasti ramai,” ujarnya bersemangat. Rupanya dia spesialis menjual lumpia buatan Kasno di ajang lomba-lomba. Dia mengaku setiap hari ada saja yang menggelar lomba di sekitaran Surabaya hingga Sidoarjo, yang sebisa mungkin dia datangi untuk menjual lumpia.
Lumpia Stadion
Lain lagi ceritanya dengan lumpia buatan Ipung Kuswandi. Selama beberapa musim pertandingan sepak bola Liga Indonesia, dia -lah yang bertanggungjawab mensuplai lumpia yang dijual di tribun-tribun penonton VIP, di Gelora Bung Tomo. Kini lumpia khas Surabaya ini serasa identik dengan suporter Persebaya.
Dibantu istri, pria yang akrab disapa Pumpung ini, melanjutkan usaha orangtua membuat lumpia. “Saya lupa kapan mulainya. Dulu emak saya yang memasak, saya yang menjual,” kisah Pumpung, sambil menggoreng lumpia yang sudah disiapkan sang istri.
“Kalau tak salah ingat, ketika baru kemanten nyar, itu awal-awal istri saya latihan membuat lumpia sendiri,” katanya. Sekarang dua anaknya sudah berkeluarga semua, dan gantian mereka yang keliling berjualan. Lumpia Pumpung ini beredar di pasar mulai sore hingga malam.
Pada suatu ketika, gurihnya rasa lumpia buatan Pumpung ini sampai di lidah manajemen klub sepak bola kebanggan Surabaya, Persebaya. Alhasil, manajemen Persebaya menjadi pelanggan setia lumpianya untuk cemilan para pemain ketika jeda latihan. Lumpia Pumpung juga diberi ijin untuk bisa dijual di tribun penonton VIP. “Sekali pertandingan bisa terjual ribuan biji, Mas” ujarnya bangga.
Sejak pertandingan jarang digelar, ditambah adanya pandemi, produksinya menurun drastis. Diperparah lagi, taman-taman di Surabaya belum ada yang dibuka. Tetapi mereka tetap produksi, berapapun yang laku nanti. “Sekarang paling pol hanya produksi empat ratusan tiap hari, itu sudah banyak,” lanjutnya.
Lalu apa yang membedakan dengan lumpia Semarang? Konon, isian lumpia khas Surabaya tidak didominasi dengan Rebung, kalaupun ada hanya pelengkap dari Wortel dan Kecambah. Aroma dan citarasnya jauh berbeda, dan kulitnya juga lebih kering ketika sudah matang.
Sebagai pelengkap, lumpia renyah diguyur dengan saus bumbu Tauco yang gurih manis. Makin pas ditemani gigitan Bawang Daun dan Cabai. Lumpia ala Surabaya terkenal dengan harganya yang ramah di kantong. Hanya tiga ribu rupiah saja, penasaran?(tin/lim)