Jumat, 22 November 2024

Puisi Sang Tanah Sujud Bumi Sindir Perusak Lingkungan

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Pemeran Ibu Pertiwi dalam pertunjukan teater berjudul "ANU" di kebun milik warga, di Desa Batankrajan, Kecamatan Gedeg, Mojokerto, Kamis (29/10/2020) malam. Foto: Fuad Maja FM untuk suarasurabaya.net

Sekelompok seniman menyampaikan kritikan pedas terkait banyaknya tambang galian C yang tersebar di Mojokerto lewat pentas seni teater. Mengingat saat ini sudah masuk pergantian musim, dari kemarau ke musim hujan.

Beberapa wilayah yang seyogyanya berperan sebagai daerah penyangga, kini dikeruk, dijadikan tambang galian. Seperti di wilayah Jatirejo, Gondang, Pacet, dan Ngoro.

Dalam pagelaran seni teater yang berjudul “ANU” yang diselenggarakan di Desa Batankrejan, Kecamatan Gedeg, Mojokerto pada Kamis (29/10/2020) dibacakan puisi berjudul “Sang Tanah Sujud Bumi”. Kukun Triyoga pemeran Tanah membacakan puisi tersebut dalam kubangan lumpur.

Berikut puisi berjudul “Sang Tanah Sujud Bumi”, seperti dilaporkan Fuad, reporter Maja FM, Jumat (30/10/2020).

Bumi Pertiwi sedang terluka, tubuhnya remuk terbalut wabah
Merebak, bahkan seantero Nusantara yang entah kapan penghujungnya

Bumiku semakin sesak nafasnya, saat penghuninya merusak pepohonan dan mengali tanah tanpa melihat di sekitarnya

Ibu pertiwi adalah ibunda kita yang harus ya kita rawat bukan menghujat
Yang harus kita sayang bukan ditendang
Yang harus kita hormati bukan menggerogoti

Pohon pohon banyak ditebang
Sungai-sungai beraroma busuk limba
Gunung-gunung menjerit mengeluarkan amarah

Ibu Pertiwi merintih
Menatap anak cucunya saling menikam
Dan menghujam dari belakang.

Saatnya kita bersujud menghujam langit dengan doa
Menundukkan kepala dan hati dengan ikhlas
Agar wabah cepat usai di Nusantara

Ibu yang melahirkan kita
Dan bumi akan menjepit saat kita tidur nanti
Sujud ku pada ibu Pertiwi

Bagus Mahayasa, sutradara sekaligus pembuat naskah “ANU” mengatakan, pagelaran seni teater ini bercerita tentang kondisi bumi yang tak baik-baik saja. Mulai dari sistem di tengah Pandemi yang “mengebiri” para seniman, kondisi alam yang tak lagi stabil dan banyaknya tanah yang digali tanpa adanya reklamasi.

“Penggambaran di Mojokerto, kita tahu sendiri di daerah-daerah yang seharusnya menjadi daerah penyangga banyak yang di keruk secara liar, hutan hutan digunduli. Kita miris dan prihatin. Bahasa kami melihatnya mungkin bumi atau tanah kita menangis,” ungkapnya.

Dia juga memaparkan tentang kondisi Pandemi yang hingga kini masih merebah di Mojokerto. “Ruang gerak kami (seniman) terbatas bahkan tidak bisa bergerak sama sekali,” ujarnya.(fad/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs