Selebritas Dian Sastrowardoyo mengungkapkan kepada publik mengenai kondisi anak pertamanya yang terdiagnosis autisme.
Dian, dalam konferensi pers Pameran Anak Spesial (SPEKIX) 2019 di Jakarta, Jumat (24/8/2019), mengaku tahu tentang kondisi anaknya saat sang anak masuk usia delapan bulan. Dia menyadari ada hal yang berbeda pada diri putranya.
“Dia enggak punya ketertarikan sama anak-anak lain. Dia enggak bisa menggunakan telunjuk. Mau nunjukin dia tertarik, dia tarik tanganku,” ujar Dian tentang putranya, Syailendra Naryama Sastraguna Sutowo.
Bukan hanya tidak dapat menggerakkan telunjuk, perempuan berusia 37 tahun itu juga menyadari ada hal lain dari diri anaknya yang juga berbeda dengan anak-anak lain, seperti sulit melakukan kontak mata (eye contact) ataupun gerakan mulut.
“Dia jarang kontak mata. Aku pikir karena aku orangnya bonding. Sebagai orang tua, aku merindukan bonding. Ini enggak terjadi sama anakku sampai usianya empat tahun,” kata Dian tentang upayanya untuk dekat dengan orang tua.
Dian semakin menyadari putranya berbeda dengan anak-anak lain ketika sang anak masuk pra-sekolah.
“Di kelas, anakku enggak tertarik ikut kegiatan yang diajarkan gurunya. Dia lain sendiri dan membuka pikiranku. Aku coba cari tahu yang lebih lanjut,” ujarnya, lansir Antara.
Alumnus Fakultas Sastra dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu lantas mengajak putranya itu ke tiga dokter untuk menjalani pemeriksaan demi mengetahui tanda-tanda autisme.
Dia juga membawa Syailendra ke para ahli untuk menjalani terapi, seperti okupasi, perilaku, dan bicara. Dia juga melatih anaknya melakukan kontak mata dan berkomunikasi.
“Aku membuka diri dan melatih anakku bisa melakukan kontak mata. Kami sekeluarga sepakat tidak memberikan apapun sampai dia meminta sendiri. Aku melakukan seperti yang dilakukan saat terapi,” katanya.
Saat berusia enam tahun, putra Dian Sastro tidak memerlukan terapi lagi. Ketika masuk usia delapan tahun, Syailendra kemampuan sosialnya sudah meningkat.
Dian mengaku terbuka soal kondisi anaknya itu, meski demikian secara publik dia baru mengakuinya karena diminta untuk berbagi pengalaman.
“Aku mau kasih sharing positif kalau mau kasih pertolongan dia bisa mandiri secara sosial, akademis,” kata Dian.
Dian ingin orang tua lain juga terbuka jika anak punya kebutuhan khusus. “Kalau kita tolong dari kecil, saat sekolah dasar dia sudah dianggap enggak terlalu berbeda sama anak lainnya,” papar Dian.
Dian mengatakan, tak mudah mengasuh anak dengan autisme, salah satunya menghadapi tingkah janggalnya misalnya menepuk tangan berulang kali, memainkan satu mainan hingga tiga jam.
“Dulu rasanya, kayak sedih. Aku ingin jadi orang tua ingin bonding sama anakku. Saat dia belum bisa komunikasi dengan baik. Kapan dia tahu aku sayang sama dia,” tutur Dian.
Terlebih jika tak ada dukungan dari keluarga. Pada tahun-tahun pertama, dia masih berusaha mengupayakan diri dan keluarganya kuat.
“Aku manage kekuatan orang-orang di sekitar. Aku tenangin diri, “memang begini kok”, “aku masih proses edukasi. Enggak apa-apa memang ini lelah,” kata Dian.
Putra pertama Dian kini sudah berusia delapan tahun dan perkembangan kemampuannya semakin baik baik secara akademis maupun sosial karena sudah melalui terapi mulai dari okupasi hingga bicara.
Sang putra kini sudah mampu melakukan berbagai hal yang dulu dia tak bisa lakukan semisal berkomunikasi dan berargumen.(ant/iss/ipg)