Kementerian Kesehatan mengingatkan bahaya susu kental manis sehingga tidak dianjurkan untuk dikonsumsi secara rutin oleh anak terutama balita.
Kemenkes melalui akun twitter resminya @KemenkesRI yang dipantau dari Jakarta, Minggu (7/5/2018) menyebutkan bahwa susu kental manis (SKM) tidak cocok untuk anak di bawah usia 3 tahun yang masih membutuhkan lemak dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan.
“Tahukah kamu jika SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50 persen) dan ditambah dengan gula 40-50 persen,” tulis akun resmi Kemenkes RI di Twitter @KemenkesRI seperti dilansir Antara.
Kemenkes juga mengungkapkan bila SKM mengandung Karbohidrat (KH) dan gula yang jauh lebih tinggi, serta protein yang jauh lebih rendah dari susu full cream.
Padahal, kebutuhan gula anak 1-3 tahun sekitar 13-25 gram sehingga jika meminum dua kali SKM dalam sehari sudah melebihi kebutuhan gula, belum lagi dari sumber makanan lain.
Kemenkes menyebutkan, Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 yang diamandeman dengan Permenkes Nomor 63 Tahun 2015 telah menetapkan batasan-batasan konsumsi gula, natrium dan lemak.
Sebaiknya, konsumsi gula 50 gram (4 sendok makan), natrium lebih dari 2.000 miligram (1 sendok teh) dan lemak 67 gram (5 sendok makan) per orang per hari.
Apabila mengonsumsi gula, natrium dan lemak lebih dari batas-batas yang diebutkan, bisa berisiko terkena hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung.
“Nah, sebaiknya bijaklah dalam menggunakan SKM ya #Healthies! Mengurangi konsumsi gula pada makanan sehari-hari dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan menurunkan risiko penyakit tidak menular,” tulis Kemenkes.
Dr Damayanti Syarif SpA(K) PhD anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengimbau agar tidak memberikan susu kental manis untuk anak.
“Susu kental manis adalah produk yang fungsinya sebagai bahan makanan, memiliki kandungan gula 50 persen serta berisiko bila dikonsumsi oleh anak,” ujarnya dalam laman resmi www.idai.or.id.
Susu kental manis adalah produk yang utamanya digunakan sebagai bahan pelengkap masakan.
Sebab, produk ini tinggi kandungan gula dan hanya sedikit mengandung protein susu zat yang dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak.
Meski, berdasarkan kategori pangan BPOM, produk kental manis masuk dalam kategori susu apabila memiliki kandungan protein minimal 7,5 persen.
Maka, kental manis yang memiliki kandungan protein di bawah 7,5 persen otomatis disebut krimer kental manis dan tidak dapat dikatakan susu.
Damayanti mengungkapkan, sebagian besar produk kental manis yang beredar di pasar Indonesia hanya mengandung sekitar 2-3 persen protein susu.
“Memberikan susu kental manis yang minim gizi namun tinggi gula untuk anak sebagai pelengkap gizi dan pertumbuhan anak adalah keputusan yang keliru. Lebih keliru lagi bila yang diberikan adalah krimer kental manis yang jelas tidak masuk dalam kategori susu,” sebutnya.
Faktanya, sebagian besar konsumen belum bisa membedakan mana susu dan mana krimer. Meski pada label kemasan, krimer kental manis sudah tidak mencantumkan keterangan susu, namun kenyataannya masyarakat masih beranggapan yang putih adalah susu, susu kental manis dan krimer kental manis seolah tak ada bedanya.
Jika memperhatikan rak pajangan di minimarket, susu kental manis dan produk kental manis berbagai merek pun dipajang berdampingan sehingga seolah mereka adalah kelompok yang sama.
Hal ini turut membentuk menyesatkan persepsi masyarakat, susu kental manis dan krimer kental manis adalah susu.
Pada akhirnya, pertimbangan harga akan menentukan pilihan konsumen. Tentu saja, krimer kental manis memiliki harga lebih ekonomis dibanding susu kental manis.
Kesalahan tersebut tidak dapat sepenuhnya ditimpakan pada konsumen yang tak jeli membaca label.
Gerakan bijak membaca label baru dikampanyekan dua tahun terakhir ini.
Sementara “brainstorming” konsumen oleh produsen melalui iklan dan promosi yang seolah-olah menunjukkan krimer kental manis adalah susu bergizi untuk keluarga telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun.
Tulus Abadi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyampaikan bahwa pada label produk kental manis harus memuat secara jelas informasi kandungan dan untuk apa produk ini seharusnya digunakan.
“Itu menyesatkan konsumen karena itu akhirnya dikonsumsi konsumen itu gula bukan susu,” ujar Tulus.
Untuk itu, Tulus meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memperbaiki terminologi kental manis guna menghindari kebingungan masyarakat. (ant/dwi/rst)