Selasa (7/8/2018) siang di depan ruang kerja Wali Kota Surabaya, berkumpul sejumlah perempuan duduk di sofa tunggu. Mereka menunggu Tri Rismaharini.
Ibu-ibu ini ternyata para pengrajin batik ikat celup (tie dye) yang dipanggil oleh Risma untuk mendapatkan pengarahan khusus di ruang kerjanya.
Bukan karena karya mereka tidak laku di pasaran, tapi justru karena batik ikat celup mereka ternyata sudah dipajang di salah satu kafe di Liverpool, Inggris.
“Jadi, aku kemarin, kan, ke Liverpool. Wakil wali kota Liverpool ngundang aku untuk pembukaan kafe. Ternyata di kafe itu sudah ada karyanya ibu-ibu ini,” ujar Risma.
Gary Miller Wakil Wali Kota Liverpool mengundang Risma untuk menunjukkan kafe baru itu, yang menurut pria itu, akan sering digunakan untuk fashion show.
Dia mengundang Risma karena sebagian dari beberapa batik yang dipamerkan di kafe itu adalah milik para pengrajin batik maupun tas di Surabaya.
Garry, yang menurut Risma adalah seorang seniman, sempat mengeluhkan beberapa pesanan batik ikat celupnya yang tidak direspons oleh ibu-ibu pembuatnya di Surabaya.
“Kata dia, di Liverpool tahun ini sedang booming motif bunga-bunga. Nah, tahun depan, katanya, itu tie dye. Dia mau pesan banyak tapi sampai sekarang tidak dijawab,” kata Risma.
Risma jadi bertanya-tanya, apakah tidak dijawabnya pesanan Garry itu karena memang kemampuan produksi ibu-ibu pengrajin batik itu yang masih sangat terbatas?
“Apa karena mereka, ibu-ibu ini, tidak bisa bahasa Inggris?” kata Risma lalu tertawa.
Karena itulah Risma mengumpulkan ibu-ibu pengrajin batik tie dye agar menyampaikan kepadanya, apa yang menjadi masalah mereka sehingga tidak bisa memenuhi pesanan.
Sebab, kata Risma, Gary Miller bahkan sudah merinci perkiraan harga untuk setiap produk ibu-ibu Surabaya yang akan dia jual kembali di Liverpool.
Risma mengatakan, dia akan memberikan pengarahan khusus berkaitan dengan variasi motif batik tie dye dan beberapa trik supaya mereka bisa memenuhi pesanan.
“Ya, aku akan kasih arahan ke mereka. Biasanya mereka juga konsultasi ke aku, kok, soal desainnya,” kata Risma.
Ibu-ibu pengrajin batik ikat celup itu, kata Risma, datang dari berbagai kampung di Surabaya. Risma juga tidak menyangka, ternyata jumlahnya cukup banyak.
Sementara ketika di Liverpool beberapa waktu lalu, di kafe yang baru dibuka wakil wali kota itu, Risma mengaku terkejut karena produk kerajinan dari Surabaya yang dipamerkan cukup banyak.
“Ada batik itu, kaos, lalu ada juga topi dan tas. Itu, tas yang dari sak semen itu, juga dipajang di sana. Aku sempat kaget juga,” katanya.(den/ipg)