Siapa yang tidak tahu Yogyakarta? Kota budaya yang selalu dikunjungi ratusan wisatawan tiap tahunnya. Sepanjang tahun 2017, ada 3,5 juta wisatawan domestik dan 400 ribu mancanegara datang ke Yogyakarta.
Meski identik dengan wisata budaya, Jogja tetap punya cara tersendiri menggaet semua kalangan untuk kembali ke Jogja. Selain dengan kearifan lokal yang masih dipegang teguh sebagian besar masyarakatnya, dengan akulturasi budaya.
“Semua infrastruktur harus mendukung. Bagaimana mengoptimalisasi ini (budaya) tanpa harus merusak artefak atau cagar budaya. Tapi secara fisik justru bagus untuk selfie,” ujar Yetti Martanti Kabid Pengembangan dan Pemasaran pariwisata Dinas Pariwisata Yogyakarta. Spot-spot itu mengakomodasi wisatawan untuk berswafoto dengan background budaya.
Dengan basis wisata budaya, Jogja ingin semua kalangan termasuk anak muda menikmati semua destinasi yang ada. Pemkot diantaranya menggagas famtrip, sebagai bagian strategi promosi wisata.
“Kalau kita promosi harus dilakukan terus-menerus dengan strategi yang variatif. Semua harus diakomodir. Seperti famtrip. Karena media, influencer, blogger akan ‘mempublish’ semua yang mereka dapat di Jogja ke daerah atau negara mereka,” Yetti menambahkan. Sedangkan para travel agent yang diajak ikut serta, diharapkan membuat paket-paket wisata ke Yogyakarta.
Jogja sudah punya daya pikat budaya, influencer menguatkan brandingnya. Memang ini bukan satu-satunya strategi, tapi melibatkan influencer dinilai sangat efektif memberi pengalaman langsung dan dan menyasar ceruk target pasar. Pemkot mengajak mereka ikut merasakan dan mengunjungi berbagai destinasi kota Jogja. Mulai dari Borobudur, Malioboro, dan Desa Wisata Tembi. Bahkan mencoba pakaian tradisional Jawa dan ziarah ke makam-makam Raja Mataram di Kota Gede dan mengenal Keraton Ngayogyakarta. Mereka juga bersentuhan langsung dengan kehangatan masyarakat Jogja.
Akulturasi juga dibranding dalam perhelatan hari jadi ke-262 kota Jogja, dalam Wayang Jogja Night Carnival. Event yang sudah digelar ke-3 kalinya ini sekaligus memperingati hari jadi kota Jogja. Selain itu sebagai event budaya untuk menggaet kunjungan wisatawan.
Seribu empat ratus warga dengan kearifan lokal mereka, ikut berperan. Pekerjaan besar ini tidak hanya digarap pemerintah kota, tapi juga melibatkan ribuan warga bahkan aparat lurah dan kepala desa atau camat. Event ini menampilkan tokoh-tokoh wayang dalam bentuk kolosal yang ditampilkan warga. Dikemas lebih modern dan merakyat demi menyampaikan pesan budaya dan mengedukasi generasi-generasi berikutnya. Cara ini dipilih untuk memudahkan anak muda dan semua kalangan memahami tokoh-tokoh wayang seperti Rama Shinta, Srikandi, Bhisma, Kunti, Sugriwa-Subali-Anjani, Kresna, Narasoma, Larasati, Anoman, dan Kumbokarno.
Jogja bukan hanya mengenang warisan masa lampau tapi juga menatap masa depan. Budaya bisa dimiliki dan dinikmati setiap jaman, bukan hanya sekedar komoditi untuk menghidupi mereka tapi namun juga diwariskan. Dibalut dalam street art, Wayang Jogja Night Carnival juga sebuah etalase budaya.
“Tidak berlebihan kalau mulai saat ini dan seterusnya Pemkot Jogja menetapkan bulan Oktober sebagai bulan perayaan dan promosi Kota Yogyakarta,” Haryadi Suyudi Walikota Jogja menambahkan. Maraknya berbagai event yang mengiringi hari jadi Jogja bahkan digagas jadi bulan promosi Jogja.
Alkulturasi budaya di Jogja juga disampaikan Sultan Hamengkubuwono X Gubernur DIY.
“Ajang Wayang Jogja Night Carnival, sebagai akulturasi budaya yang ditampilkan dalam seni street carnival,” kata Sultan.
Kata Sultan, seni penuh kreativitas tanpa batas. Seni teramat panjang dan hidup terlalu singkat. Karena sifatnya universal, seni saling silang adopsi dan akulturatif.
“Wayang Jogja Carnival merupakan acara interaksi antar budaya wayang tradisional dengan media modern,” Sultan melanjutkan. Selain menyajikan hiburan spektakuler event ini sekaligus mengukuhkan Jogja sebagai kota yang berbudaya dan berperadaban yang penuh toleransi.
Gubernur DIY juga menambahkan, seandainya pendiri kota bisa diajak berkomunikasi secara imaginer pasti tidak akan mengira bahwa kota antik dan anggun yang didirikan sudah berkembang jadi kota yang dinamis dan penuh kreativitas.
Alkulturasi tidak melulu dengan cara rumit. Cara-cara sederhana dengan melibatkan warga juga mampu menciptakan ikon baru kota. Serta menyatukan warga dalam kesamaan tekat, bersama membangun Yogyakarta. (Maria Mursid/iss)