Adi Prayitno Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mengatakan, calon presiden Prabowo Subianto berkeinginan agar Pemilu 2019 berlangsung transparan dan bersih.
“Rencana Prabowo mundur adalah gimik politik. Itu tentu warning. Gertak sambal dari teman Prabowo bahwa KPU, Bawaslu jangan sampai berpihak, tidak netral,” kata Adi, di Jakarta dilansir Antara, Selasa (15/1/2019).
Pernyataan Djoko Santoso Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu menanggapi pernyataan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, bahwa Prabowo akan mundur jika kecurangan dalam pemilu tak bisa dihindari.
Adi mengatakan, merawat kredibilitas KPU dan Bawaslu serta menciptakan pemilu yang bersih merupakan tanggung jawab bersama. Di era teknologi seperti saat ini semua orang bisa mengakses informasi.
“Arus informasi semakin bebas diakses, semua orang bisa melihat proses pemilu. Saya kira netralitas KPU dan Bawaslu cukup telanjang ya untuk bisa dinilai. Beda dengan zaman dahulu,” tegas Adi.
Sementara itu, Bawono Kumoro Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center menilai sikap mundur dari kontestasi pemilihan presiden bertolak belakang dengan latar belakang Prabowo sebagai mantan prajurit.
“Seorang mantan prajurit harus memiliki jiwa siap menang dan siap kalah bukan justru mundur. Itu (kalau mundur) kalah sebelum bertanding,” katanya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melarang keras pasangan calon untuk mengundurkan diri. Pasal 236 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bakal pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Jika masih bersikeras untuk mengundurkan diri maka sanksi pidana dan denda menanti pasangan calon bersangkutan sebagaimana ditegaskan Pasal 552 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50 miliar. (ant/wil/ipg)