Sandiaga Salahuddin Uno Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02, saat Debat Pilpres Ketiga, Minggu malam (17/3/2019), menyatakan bahwa untuk berbagai layanan dan program pemerintah cukup melalui satu kartu, yaitu Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Dia menyebut e-KTP merupakan kartu super canggih karena sudah memiliki chip dan teknologi di dalamnya sesuai dengan Revolusi Industri 4.0, maka semua layanan bisa terlayani hanya dibutuhkan e-KTP.
Menanggapi gagasan Sandi Uno itu, Fahri Hamzah Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) saat dihubungi wartawan, Senin (18/3/2019), mengatakan jurus pamungkas Sandiaga Uno berupa kartu e-KTP itu adalah tepat, dan lebih rasional dibanding hanya bagi-bagi kartu sebagaimana yang dilakukan petahana selama ini.
Kegagalan petahana, kata Fahri adalah gagal selesaikan konsep SIN (single identity number) yang telah dimulai sejak UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang kemudian diperbaharui tahun 2013.
“Cetak kartu hanya menambah anggaran yang tak perlu. Kartu Pra Kerja kan konsep dan implementasinya sudah ada semenjak zaman Pak SBY. Jadi, menurut saya solusi Sandiuno itu, langsung masuk jantung persoalan,” jelasnya.
Dengan ‘Kartu Pamungkas e-KTP’, maka, kata Fahri, seluruh hak dan keperluan rakyat tercakup dalam sebuah kartu yang telah dirancang secara elektronik, berlaku secara nasional dan menjadi jaminan bagi semua hak rakyat sejak hak pilih, kesehatan, subsidi, tenaga kerja, dan lain-lain.
“Ini cukup! Semoga saat menang nanti, Prabowo dan Sandiuno prioritaskan penyelesaian Kartu Pamungkas e-KTP sebagai dasar semua pelayanan kepada masyarakat Indonesia di seluruh dunia,” ujar inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
Terkait debat semalam, Fahri menilai bahwa inti dari yang disampaikan Capres nomor urut 01, Kyai Ma’ruf meneruskan program Jokowi-JK, lalu secara normatif berkomitmen melakukan perbaikan. Sedangkan Sandiaga banyak menyampaikan terobosan-terobosan kebijakan, cukup detail sekali.
“Jadi, nampak sekali mana gagasan yang konservatif mana yang progresif. Kyai Ma’ruf masih pakai senjata lama, persis dengan apa yang dilakukan Jokowi dalam debat capres 5 tahun lalu. Sandi lebih menekankan pada komitmen target 200 hari selesaikan masalah kesejahteraan,” ujarnya.
Fahri kemudian mengambil contoh dia sebut Kartu Tak Sakti masalah BPJS. BPJS lahir di era Pemerintahan SBY melalui UU N0.24/2011, diimplementasikan 1 Januari 2014 (akhir pemerintahan SBY). Namun dalam kampaye, oleh Jokowi kartu BPJS saat itu diganti dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS), seolah program baru.
“Jadilah seolah-olah KIS itu program hebatnya pak Jokowi. KIS jadi kartu sakti, dibagi-bagi waktu kampanye, jadi ladang elektabilitas. Padahal konsep dan implementasinya dilakukan pada masa pak SBY, pemerintah baru hanya melanjutkan,” ungkap Anggota DPR dari Dapil NTB itu.
Karena dari awal pemerintahan program BPJS ini dijadikan alat popularitas, maka lanjut Fahri lagi, pengelolaannya pun tampak tidak terlalu diperhatikan. Bahkan, selama 4,5 tahun belakangan ini pengelolaan BPJS amburadul, tiap tahun defisit, kualitas pelayanan semakin menurun.
“Saya mendapat keluhan lapangan. Menerima audiensi dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Indonesia Bersatu (DIB), Perhimpunan Rumas Sakit (Persi), Perhimpunan Perawat, Apoteker dan seterusnya. KIS benar-benar menjadi ‘Kartu Tak Sakti’ karena kampanye,” sindirnya.(faz/ipg)