Panwaslu Kota Surabaya telah menggelar rapat pleno, untuk membahas terkait temuan pemilihan ganda oleh pasangan suami istri yaitu Kudori dan Sulichah, di TPS 49, Manukan Kulon, Surabaya. Permasalahan itu dibahas langsung dalam Sentra Gakkumdu yang terdiri dari Polisi, Panwaslu, dan Kejaksaan, yang digelar pada kemarin malam, Senin (2/7/2018).
Sejumlah saksi juga turut dihadirkan, mulai dari dua terduga, petugas KPPS, dan korban yang memiliki form C6 yang sempat digunakan oleh terduga. Novli Thyssen Divisi Hukum dan Penangganan Pelanggara Panwaslu Surabaya mengatakan dari hasil proses kajian atau klarifikasi dari para saksi dan bukti-bukti yang ada, kasus tersebut masih belum cukup memenuhi unsur pidana untuk diteruskan ditingkat penyidikan.
“Kami sudah membahasnya kemarin malam. Dalam sentra Gakkumdu, kami memutuskan bahwa tidak ada unsur pidana yang ditemukan. Sehingga sudah kami berhentikan kasusnya, dan tidak diteruskan ke tingkat penyidikan,” kata Novli, saat dihubungi suarasurabaya.net, Selasa (3/7/2018).
Menurutnya, kejadian itu terjadi murni karena kelalaian petugas KPPS. Mereka dinilai kurang cermat, terutama pada prosedur pemilihan. Misalnya, dalam memastikan calon pemilih yang menggunakan hak pilihnya, bahwa benar-benar terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ketidakcermatan itulah, lanjut dia, yang menyebabkan orang lain menggunakan hak suara yang bukan miliknya.
Selain itu, Sulichah salah satu terduga dalam hal ini, juga diketahui memiliki keterbatasan yaitu buta huruf. Sementara Kudori suaminya, memiliki keterbatasan penglihatan karena faktor usia. Sehingga, pada saat petugas KPPS mengantar C6 ke rumah kontrakkannya, langsung mereka terima tanpa tahu isi tulisannya.
Dengan begitu, unsur kesengajaan yang disangkakan Pasal 187a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, tidak terpenuhi. Mereka juga diketahui sangat minim pengetahuan terkait tata cara pemungutan suara.
“Jadi sesuai pasal 187a UU 10/2016, unsur kesengajaan sebagai orang lain dan menggunakan hak orang lain tidak terpenuhi. Murni ketidaktahuan mereka. Saat itu dipikir, orang yang mengkrontrak rumah, berhak memilih di TPS di rumah wilayah rumah itu,” katanya.
Bahkan, Panwaslu juga tidak menemukan bukti adanya kepentingan dari luar yang melawan hukum, dengan memanfaatkan pasutri yang sudah lanjut usia itu.
Dalam hal ini, Panwaslu berharap pihak KPU ke depannya agar lebih transparan dalam proses pembentukan petugas KPPS. Agar semua masyarakat bisa mempunyai akses yang sama, dan tahu bagaimana proses perekrutannya.
“Dari kejadian ini, jelas petugas KPPS kurang teliti dan sepertinya masih belum paham prosedur proses pemungutan suara. Oleh karena itu, ke depannya pihak KPU bisa lebih memerhatikan saat merekrut petugas KPPS,” pungkasnya. (ang/iss/ipg)