Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah membawa manusia harus berhadap-hadapan dengan berbagai kemungkinan dalam sebuah genggaman. Sebut saja artificial inteligence (kecerdasan buatan) yang merupakan hasil proses panjang riset dunia digital.
Profesor Rhenald Kasali pendiri Yayasan Rumah Perubahan menyebutkan, pada 1958 sampai 1970-an silam, rangkaian sirkuit elektronika memerlukan transistor yang mana dalam setiap sirkuit terpadu atau integrated circuit (IC) hanya ada dua transistor saja. Besarnya pun, saat itu, sekitar setengah inci.
“Tetapi sesuai hukum Gordon Moore, maka dua tahun sekali kapasitasnya meningkat, tetapi volumenya semakin mengecil. Pada 1971, sudah bisa dibuat 2.300 transistor dalam satu IC, dan ukurannya mengecil menjadi 10 ribu nanometer. Muncul lagi Intel Core i-7 tahun 2016, itu sudah 14,4 miliar transistor dalam satu IC. Artinya semakin cerdas ini, pergerakan bagaimana kita bisa memanfaatkan elektronik,” ujarnya dalam rekaman suara yang dia dedikasikan untuk Pendengar Radio Suara Surabaya.
“Tahukah Anda pada 2019 ini sudah 40 ribuan transistor dalam satu IC, dan besarnya hanya 7 nanometer. Jadi size-nya semakin kecil, artinya biaya untuk energinya semakin kecil, volumenya semakin kecil, tidak perlu ruangan yang besar, teknologi itu bisa dikendalikan sampai ada di dalam genggaman tangan kita: jumlah transistor tambah besar (banyak), sehingga cost atau biaya computational menjadi sangat menurun, bandwith cost akan sangat turun, memory cost sangat turun. Tetapi connectivity itu meningkat, dan akhirnya kita bisa membuat kecerdasan buatan.”
Sayangnya, kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia itu, kecerdasan ini bukan milik manusia. Kecerdasan itu milik mesin. Dengan adanya kecerdasan itu kecenderungan masyarakat terbagi menjadi dua: mereka yang bisa mengendalikan kecerdasan buatan itu dan mereka yang dikendalikan oleh kecerdasan buatan itu.
“Inilah yang disebut oleh sejarawan Yuval Noah Harari bahwa kita manusia yang bisa menjadi korban peretasan (hack). ‘Human can be hacked,’ katanya. Manusia atau homo sapiens ini di-hack oleh teknologi. Karena sekarang Anda lebih percaya kepada GPS ketimbang percaya kepada sopir taksi, atau kepada anggota keluarga anda. Anda lebih percaya kepada review dan rating ketimbang brand dan pengalaman anda sendiri. Dan kaum muda lebih percaya kepada Tinder, aplikasi mencari pasangan atau pacar, ketimbang dengan matanya sendiri,” ujarnya.
Padahal, dengan matanya, kata Rhenald, manusia bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Tetapi, ketika manusia sudah menjadi korban hack oleh teknologi seringkali menjadi kesulitan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dikendalikan oleh hoaks, dikendalikan oleh gambar-gambar palsu, dan sebagainya. Sehingga hal itulah yang menandai terjadinya ledakan kecerdasan yang begitu besar.
“Ledakan kecerdasan ini yang membuat munculnya produk-produk baru yang dilengkapi dengan network, sensor, robotik, 3D printing, synthetic biology, material science, augmented reality, virtual reality dan lain sebagainya. Bahkan bisa tercipta deep fake: suara kita bisa ditiru; orang yang sudah meninggal, artis yang sudah meninggal seperti penyanyi kita misalnya Broery Pesulima, bisa kita hadirkan di hadapan Anda. Dan Anda mungkin merasa dia benar-benar ada, bisa Anda ajak bicara, tetapi itu hanya hologram,” ujarnya.
Kecerdasan buatan, kata Rhenald, bisa berlanjut terus dan bisa mengendalikan mesin-mesin. Manusia bisa menggunakannya untuk membantu dirinya mengerjakan sesuatu. Misalnya saat menghadapi ujian pada saat masa sekolah. Menurutnya, ledakan kecerdasan itu pada akhirnya akan sangat bisa membantu manusia. Manusia bisa menjadi semakin cerdas, tetapi manusia juga bisa dikendalikan oleh teknologi.
“Jadi kenali apa yang ada di tangan Anda. Apakah Anda ingin menjadi pengendali atau menjadi orang yang dikuasai oleh teknologi. Saya sendiri memilih untuk mengendalikan teknologi itu. Oleh karena itu saya selalu berhati-hati, saya selalu memikirkan, saya selalu mengecek kembali, saya selalu memeriksa kembali, dan saya menggunakan itu hanya untuk mempercepat proses kerja saya di bagian tertentu, dan di bagian lain saya menjadi sangat sabar sekali karena yang saya hadapi di depan saya adalah manusia. Murid-murid saya, pegawai saya, asisten saya, istri saya, anak-anak saya, dan orang-orang yang berada di sekitar saya sepanjang perjalanan. Mereka adalah human, yang kecerdasannya tidak secerdas mesin yang ada di dalam telepon genggam saya,” ujarnya.
Melalui telepon genggam, Rhenald mengakui, dirinya semakin menjadi sangat cerdas. Karena dia bisa melakukan verifikasi, mengecek, bertanya dan mendapat jawaban yang lebih akurat daripada sopir taksi dalam hal memilihkan jalan yang tidak macet, misalnya. Bahkan telepon genggam bisa mengetahui selera seseorang. Mulai dari film yang disuka, musik yang disuka, dan banyak hal lainnya yang di luar kemampuan manusia.
“Tetapi hal-hal yang disodorkan oleh mesin itu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Karena kecerdasan buatan ini hanya menebak-nebak, mencoba membaca, tapi pada suatu ketika manusia juga punya kebosanan dan ingin ada variasi lain. Ingin mencoba yang lain,” ujarnya.
Prof Rhenald menegaskan, dia ingin pembaca suarasurabaya.net turut mengamati perkembangan kecerdasan buatan supaya bisa menentukan sikap berkaitan kecanggihan teknologi yang sedang dihadapi manusia. Apakah kita yang akan mengendalikan, atau kita yang dikendalikan?
“Lebih baik kita mengendalikan daripada dikendalikan oleh teknologi. Dikendalikan oleh kecerdasan buatan yang memang sangat cerdas. Karena ledakan kecerdasan ini bisa menghasilkan produk cerdas lainnya. Sekarang sudah mulai diizinkan di beberapa negara, menggunakan drone untuk mengantarkan obat-obatan dalam jarak jauh. Bahkan sudah muncul drone taxi. Taksi yang bisa mengangkut manusia dikendalikan self driving. Bahkan sekarang sudah ada robot humanoid. Robot ini diluncurkan oleh Hansom Robotic yang memberi nama robot barunya dengan Grace. Cantik, dia care, dan sangat sabar menolong kita. Dan dia adalah robot perawat yang diluncurkan untuk merawat pasien Covid-19,” ujarnya.(den)