Prof Rhenald Kasali Guru Besar UI melihat, laporan bank Dunia tentang indeks Modal Insani 2018 menguatkan dugaan bahwa saatnya Indonesia berfokus pada penguatan SDM dengan memberikan dukungan yang lebih besar kepada pihak swasta dan para siswa/mahasiswa. Hadirnya kartu Indonesia Pintar, Kartu Kuliah, perlu diimbangi dengan stimulus untuk lebih memajukan swasta.
Ia menyambut baik gagasan Joko Widodo Presiden yang akan memperkuat SDM ke depan.
Pendapatnya itu diutarakan dalam seminar Peluang dan Tantangan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden RI di Surabaya Senin (25/3/2019).
Dia mengatakan, laporan itu menunjukkan baru 68 persen dari kaum muda di seluruh dunia yang potensinya telah dikembangkan dengan baik. Sementara itu di Indonesia, skornya 0.53, masih lebih baik dari India yaitu 0.44. Namun kita masih ketinggalan dengan Malaysia (0.62).
Pelibatan swasta, seperti yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan maupun non-keagamaan menjadi penting karena mereka memiliki akses dan aset yang cukup besar. Perguruan tinggi dan sekolah-sekolah swasta tidak pernah membebankan negara dalam soal pembiayaan. Namun belakangan agak terganggu menyusul kenaikan gaji guru sekolah negeri yang progresif. Keadaan keuangan banyak sekolah swasta yang melayani masyarakat berpendapatan rendah kini memang agak memprihatinkan.
Namun tak sedikit sekolah swasta yang kualitas dan inovasinya melebihi perguruan-perguruan negeri.
Tak sedikit juga yang gurunya mempunyai etos kerja melebihi guru negeri dan tak pernah menuntut diangkat sebagai PNS atau mendapat status pegawai tetap.
Bahkan disiplin sekolah dan kemampuan beradaptasinya tergadap kebaharuan sudah lama diakui. Lulusan-lulusan sekolah swasta yang lolos di PTN rata-rata memiliki survival rate yang tinggi. Oleh karena itu stimulus negara untuk memperkuat sekolah-sekolah swasta perlu diberikan negara. “Apalagi ke depan janji presiden adalah penguatan mutu SDM,” lanjutnya.
Sifat Pekerjaan Berubah
Rhenald Kasali juga menunjukkan saat ini dunia pendidikan tengah bergulat menghadapi dunia baru yang berbeda dengan referensi akademis kemarin.
“Guru-guru terdiri dari manusia kemarin, sementara yang dibangun adalah manusia masa depan yang buku acuannya belum ada. Lalu birokrat dan ahli banyak yang masih merujuk pada referensi 20 tahun ke belakang, yang menjebak anak untuk berhadapan dengan kecerdasan buatan. Ini bisa membuat anak-anak menjadi robot yang frustasi karena mereka akan kalah,” ujarnya.
Menurut Rhenald, kalau anak-anak dipertarungkan dengan artificial intellegence, kita akan lupa menyambut the future of work, yaitu logika berpikir, kreativitas, spirit mencintai lingkungan dan sesama, daya juang, mental petarung, kemampuan bekerja dalam team dan individual, serta kewirausahaan sosial. Ia mengingatkan, bahwa para inovator yang menciptakan perangkat-perangkat software dan smart devices tidak pernah belajar TI di bangku sekolah. Jadi bukan teknis yang harus dibangun, melainkan kemampuan membaca dan mengeksplorasi.
Ia memberi contoh inisiatif-inisiatif baru berupa partisipasi swasta yang menjawab kebutuhan. Salah satunya adalah The Green School di Bali. Sekolah yang dibangun dengan arsitektur dari bambu ini mempersiapkan anak-anak menjadi green leader. Sekolah internasional ini membangun kebaruan dan kini banyak diminati siswa asing yang dibawa orang tuanya datang ke Bali. Mereka belajar gamelan dan tarian bali, menanam padi sambil memahami science.
Tahun depan, sekolah yang dipimpin Dr. Tirka dari Bali ini akan membuka cabang di New Zealand.
Jadi apa yang dibutuhkan swasta sesungguhnya amat beragam. Ada yang hanya membutuhkan fasilitasi dukungan dan tidak diganggu dengan proses regulasi yang menyulitkan. Namun juga ada yang tentu masih membutuhkan dukungan fasilitas lab, insentif untuk pengembangan, dan tentu saja beasiswa untuk guru.