Sabtu, 23 November 2024

Melihat Kasus Garuda dengan Kepala Dingin

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi.

Profesor Rhenald Kasali Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mengajak semua pihak dapat melihat kasus maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan kepala dingin.

“Soal Garuda, kita harus bicara dengan kepala dingin. Sebab jangan-jangan banyak yang salah dan gagal paham dalam banyak hal,” ujarnya melalui pesan instan yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (3/7/2019) pagi.

Ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangannya. Pertama, mengurus airlines itu memang rumit. Selain harus mengutamakan keselamatan penumpang, juga mengurus servis dan high tech.

“Investasinya besar, risiko besar. Sudah begitu, airlines adalah industri yang sudah semakin sulit meraih untung. Jadi, hampir tak ada airlines corp di dunia yang stand alone, hanya hidup dari traffic penumpang atau cargo dan bisa untung. Sudah tidak bisa lagi. Maka CEO harus berpikir, mencari cara-cara baru,” kata Rhenald.

Menurut dia, tidak mudah mencari CEO seperti Ari Askhara yang mau memikirkan dan mencari alternatif sumber lain agar Garuda tetap hidup.

“Sekarang zamannya tak ada stand alone business model yang bertahan hidup. Cari-cari sumber lain. Itu sebenarnya yang dilakukan Ari Askhara. Namanya dalam airlines: Ancillary Income. Pendapatan lain-lain dari network effect. Nah ini yang ramai saat dia dapat kontrak dari Mahata. Debatable tentang sesuatu yang baru. Ya wajar saja kan. GOJEK saja dulu diributkan waktu masuk menjadi sharing ride. Orang tak kenal model businessnya. Wajar saja,” ujarnya.

“Saya dengar dan amati, Ari Askhara, orang baik, lurus, pandai, dan pekerja keras. Dia mau mengotori tangannya untuk melakukan hal-hal yang belum tentu orang mau melakukannya demi memajukan Garuda. Hanya saja dia adalah #newpower yang berhadapan dengan logika-logika lama, #oldpower. Jadi kita harus sedikit sabar dan mau lebih terbuka. Jangan gegabah salah tembak,” tambah Rhenald.

Lalu, terkait ribut soal revenue recognition yang diakui tahun 2018 dan dicatat oleh kantor akuntan publik, kata Rhenald, ini juga debatable.

“Namanya juga start up Mahata itu, model bisnisnya benar-benar baru bagi banyak orang. Cara pembayarannya juga banyak yang belum dikenal orang. Sewaktu Gojek, valuasinya dinilai melebihi Garuda yang assetnya segambreng dan riil itu, sebagian orang juga ribut kok. Devatable, tapi mereka tidak mencuri. Masing-masing punya logikanya sendiri, ada cara lama dan ada cara-cara baru yang belum banyak dikenal orang lama,” jelasnya.

Rhenald mengamati, dari dulu, setiap ada perbaikan di Garuda, selalu ada yang ribut. Semua terjadi saat dunia airlines sedang melakukan konsolidasi, saat jumlah penumpang di Asia sedang menurun, sedangkan harga tiket full service airlines naik.

“Saat penumpang Indonesia sedang takut naik Lion Air dan Air Asia yang kecelakaan tahun lalu, saat Sriwijaya tidak bisa membayar utangnya ke Garuda di GMF sehingga ia minta di-take over Garuda. Kemudian saat jalan tol darat dan laut membaik sehingga penumpang lebih suka lewat darat dan shifting, ditambah kemarin saat Pilpres, Ramai deh,” ujar founder Rumah Perubahan ini.

“Lalu ribut lagi soal jabatan sebagai komisaris di Sriwijaya. Lagi-lagi di BUMN memang direksilah yang ditunjuk untuk mengawasi anak-anak perusahaannya. Hanya saja mereka berbeda layanan, beda segmen. Yang satu full service yang satunya minimum service. Marketnya beda. Kalau sama, sudah pasti dia akan beli pesawatnya saja, bukan perusahaannya,” tambahnya.(iss/ipg)

*Prof. Rhenald Kasali, pendiri program Doktor Ilmu Strategi Fakultas Ekonomi UI, Founder Rumah Perubahan

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs