
Suprawoto Bupati Magetan: Bertahan Melewati Pahit Getir Kehidupan

Ada sebuah tulisan yang menarik, bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh, satu, latar belakang hidup. Saya yakin, saya ini kan putra seorang prajurit, yang kemudian (saya) ingin merubah nasib. Saya selalu melihat persoalan atau fenomena di masyarakat selalu empati, menempatkan “ngkok nek aku ngono piye?” Selalu begitu. Karena apa, bapak saya seorang prajurit, karirnya dari prajurit 2 dari tahun 1945 karena pendidikannya yang hanya angka 2 waktu itu. Sebab itu pahit getir kehidupan saya rasakan betul.
Bapak saya sudah pensiun ketika saya anak pertama, sehingga pada waktu kuliah di Yogyakarta itu saya nekad aja. Sampai-sampai saya setiap kuliah bawa beras. Makan itu membuat sayur sendiri yang tahan tiga hari. Untungnya waktu orde baru itu bapak saya veteran angkatan ’45 jadi kuliah gak bayar, jadi saya hanya cari makan saja.
Oleh sebab itu kemudian ketika saya lulus dari Yogya kemudian menikah dengan istri saya, Titik, (yang saat ini tengah menjabat sebagai) Kepala SMPN 1, (kondisinya) saya anak pertama adik saya 5, istri saya anak pertama, adiknya empat. Saya bilang, “Dik, kita kawin ini untuk keluarga atau untuk diri sendiri?” Dia kembali bertanya, “Apa maksudnya Mas?” Saya jelaskan, “Kalau untuk keluarga, itu adalah kewajiban kita karena kita ditakdirkan untuk lahir terlebih dulu, itu adalah membiayai semua, keluarga dan adik-adik. Ada risikonya.”
“Risikonya apa mas?” tanya Titik.
“Kira-kira 10 tahun kita akan menderita. Tetapi, setelah itu kita mungkin akan dipundi-pundi oleh adik dan keluarga kita.”
(Kalau menikah untuk diri sendiri) “Saya pegawai negeri, Dik Titik pegawai negeri, ya sudah kita hidup untuk diri kita sendiri saja, tapi risikonya kita akan dikutuk oleh keluarga kita semuanya.”
“Nah sekarang pilihannya gimana? Kamu istriku”
“Ya sudah Mas, hidup untuk keluarga.”
Oleh sebab itu jangan heran kalau kehidupan sederhana, penderitaan, itu biasa bagi saya. Oleh sebab itu saya tidak senang orang yang tidak fight.
Saya Suprawoto Bupati Magetan untuk Titik Nol Suara Surabaya.(iss/ipg)