
Butet Kertaradjasa: Meraih Keberhasilan dengan Mencintai Talenta dalam Bekerja

Hari ini, orang itu sering menyalahpahami saya. Memang saya dikenal sebagai aktor teater, tapi orang banyak menyalahpahami saya sebagai pelawak. Itu dua hal yang berbeda.
Karena kalau pelawak itu harus menciptakan kelucuan. Kalau aktor itu manafsir karakter dan memainkan karakter. Padahal basic formal saya seni rupa. Sejak SMP saya sudah memutuskan untuk masuk ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Bahkan perguruan tinggi juga seni rupa. Dan Alhamdulillah, saya DO (drop out/dikeluarkan).
Tapi justru karena saya main teater yang bukan formal itu, saya menemukan jalan hidup saya. Saya mempunyai kesempatan belajar apapun dari teater. Teater bagi saya bukan seni peran, tapi seni hidup. Belajar hidup.
Motivasi saya berteater bukan ingin terkenal, bukan ingin masuk televisi, bukan jadi kaya. Kalau jadi kaya, saya akan berdagang.
Saya berteater karena saya mencintai teater. Saya membutuhkan teater. Keterkenalan, reward ekonomi, itu semata-mata akibat pekerjaan yang saya cintai. Jadi saya tidak peduli, pokoknya yang saya lakukan kerja teater. Waktu itu juga tidak ditonton orang. Mana ada dulu orang datang ke pertunjukan saya, membayar membeli tiket? Tidak ada. Digratiskan pun orang tidak datang.
Tapi saya nggak kapok. Saya dikasih upah tepuk tangan penonton di akhir pertunjukan sudah cukup. Rugi duitnya, tapi tidak kapok. Besok main teater lagi.
Dua puluh tahun lamanya mungkin, tidak ada job (pekerjaan). Sampai akhirnya di tahun 1998 saat terjadi reformasi politik di Indonesia, orang baru mengenal saya sebagai pemain teater, karena saya main teater sejak 20 tahun sebelumnya, dan itu masa gelap saya. Setelah itu, orang mengundang saya untuk main film. Orang mengundang saya untuk main di televisi. Orang mengundang saya untuk main ke panggung-panggung pertunjukan, talkshow, berbagi pengalaman.
Kalau mengacu kepada pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, dan saya sependapat, bahwa ekspresi kesenian, ekspresi kebudayaan, itu seperti tinja. Begitu lepas dari tubuh kita, dibuang, dia harus segera diguyur dan hilang. Dan kita tidak melihat bekas itu. Itulah kerja kebudayaan saya.
Tapi kalau saya ingin dikenal sebagai suami yang baik, ayah yang baik bagi anak-anak saya, itu sudah membahagiakan saya. Dikenal sebagai orang baik oleh teman-teman saya, itu sudah menyenangkan saya.
Belajarlah terus, untuk mencintai talenta dan pekerjaan yang kamu lakukan. Semakin kamu mencintai, keberhasilan itu langsung menyambut Anda.
Saya Butet Kertaradjasa, untuk Titik Nol Suara Surabaya.