Atmosfer bulan suci Ramadhan selalu melahirkan kenangan-kenangan tersendiri bagi umat muslim, khususnya saat menjalankan ibadah puasa. Mereka yang berada di tanah air dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu dapat dengan mudah merasakan kemeriahan sahur, berbuka puasa, hingga saat terawih.
Lalu bagaimana dengan umat muslim yang berada di tanah perantauan? Tun Ahmad Gazali yang sudah tiga tahun dan sedang menempuh studi di Jepang menceritakan pengalamannya kepada e100.
“Menjalankan ibadah puasa dan ibadah Ramadhan di sini, sungguh sesuatu yang sangat berbeda dari tanah air dan itu makin menambah pengalaman berharga dalam hidup saya dan rasa syukur serta iman saya kepada Allah SWT,” tulisnya dalam surat elektronik yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (10/6/2016).
Setiap hari di bulan Ramadhan, Tun dan umat muslim lainnya di Jepang berpuasa sekitar 16 jam. “Karena bersamaan dengan awal musim panas, maka jadwal subuh di awal-awal puasa ini adalah sekitar pukul 03.20 waktu Jepang (sama dengan Waktu Indonesia Timur) dan jadwal berbuka sekitar pukul 19.20 waktu Jepang,” ujarnya.
Satu yang sangat membedakan puasa di Tanah Air dan Jepang adalah tidak terdengarnya kumandang adzan dari masjid saat subuh. Saat sahur, Tun hanya dibangunkan oleh alarm handphone yang dia setting satu jam menjelang subuh, agar ada waktu untuk tahajud.
“Sungguh, saya kangen suasana khas Ramadhan di Indonesia. Di sini saya tidak bisa ikut anak-anak keliling kampung dengan tradisi kentongan untuk membangunkan tetangga memasuki waktu sahur,” tulis Tun.
Tun tinggal di Provinsi Yamaguchi, cukup jauh dari Osaka apalagi Tokyo. Umat muslim di Tokyo dan Osaka serta beberapa kota besar lainnya, umumnya bisa lebih merasakan suasana Ramadhan seperti di Indonesia. Mereka masih bisa menikmati ngabuburit bersama di Balai Indonesia, Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) di daerah Meguro, dengan berbagai acara seperti mengundang ustadz dari Indonesia, tarawih bersama, kultum tiap Dhuhur serta berbagai kajian agama Islam.
“Saya dan teman-teman di Yamaguchi, khususnya di kota Ube ini, karena jumlahnya cukup sedikit yaitu hanya 15 orang, maka suasana tersebut kurang kami rasakan. Tetapi, khususnya bagi mahasiswa dan keluarganya di Yamaguchi University Japan, masih diadakan sholat tarawih bersama di hall Kaikan (International House) setiap harinya mulai pukul 21.00 sampai 22.00 waktu Jepang,” katanya.
Masyarakat Jepang biasanya merasa heran dengan puasa Ramadhan (di Jepang disebut Ramadhan danjiki). “Mereka bertanya-tanya kepada saya, seperti `Tun san tidak apakah tidak makan dan minum seharian?`; `Tun san kenapa tidak lemas dan masih terlihat sehat walau tidak makan minum seharian?` dan pertanyaan `Buat apa sih Tun san kok susah-susah puasa?` Serta masih macam pertanyaan lainnya yang terdengar lucu,” tulis Tun.
Tun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan beberapa penjelasan ringan dan santai sehingga mereka bisa mengerti dan menghormati Tun yang sedang beribadah puasa.
Bahkan, pada jam menjelang buka puasa, rekan kerja paruh waktu Tun sampai berteriak-teriak mengingatkan Tun untuk berbuka. “Tun saaaaan.. Ima sichi ji ni juppun da yo.. jaaaa.. kyoke shitte kudasai.. ippai ipai tabete kudasai … (Tuan Tun sudah pukul 19.24 lho ya..ayo istirahat sebentar dan menikmati makanmu).”
Menurut Tun, seperti hasil kajian diskusi yang pernah diikutinya saat tinggal di Saga, Jepang memang tidak punya Pancasila dan tidak mengenal agama Islam, tetapi mereka lebih Pancasilais dan lebih menjalankan kehidupan sehari-harinya seperti orang yang beragama Islam.(iss/ipg)