Berbeda dengan Indonesia yang ada di garis khatulistiwa maka mahasiswa Indonesia di Paris, Prancis, harus menjalani puasa Ramadhan hingga 18,5 jam sehari karena waktu siang di negara itu lebih lama dibandingkan malam.
“Di sini kami berpuasa mulai pukul 03.32 waktu setempat dan baru berbuka pukul 21.57,” kata Irma Sagala, salah seorang mahasiswa Indonesia di Prancis, seperti dilansir Antara, Senin (13/6/2016).
Menurut mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris tersebut, ia baru pertama kali berpuasa selama itu namun rasanya menyenangkan.
“Dengan puasa 13 jam di Indonesia saja sudah menyenangkan, apalagi 18,5 jam tentu kebahagiaannya berlipat ganda,” ujarnya.
Ia menceritakan agar tidak terlalu kaget sebelum Ramadhan melaksanakan puasa sunah sehingga saat Ramadhan menjadi terbiasa.
“Saya tidak khawatir walaupun lama aturan Islam itu sangat enak, sanggup laksanakan, enggak sanggup ambil keringanan,” katanya.
Ia mengakui kesulitan yang dihadapi saat menjalankan puasa Ramadhan di Prancis adalah pendeknya waktu malam sehingga jadwal tidur menjadi kurang.
“Baru selesai shalat tarawih pukul 00.00 , dua jam kemudian harus bangun lagi untuk sahur, di sini subuh pukul 03.20, karena takut ketiduran kadang ada yang memilih tetap berjaga hingga sahur,” ujarnya.
Akibatnya, lanjut dia, jam tidur mahasiswa jadi unik ada yang tidur setelah Ashar sekitar pukul 18.00 sampai berbuka pukul 22.00.
Tapi ada juga yang tidak tidur sampai Subuh, dan mengganti jam tidur setelah Subuh sampai pukul 09.00 sebelum beraktivitas pagi, katanya.
Namun ia mengatakan menjalankan puasa di Prancis saat ini lebih enak karena cuaca berada pada peralihan dari musim semi masuk ke musim panas.
“Waktu hari pertama Ramadhan suhu masih pernah di bawah 10 derajat Celcius, tapi sekarang di atas 20 derajat Celcius, tidak sepanas di Jakarta dan tentunya tidak macet serta bebas polusi,” katanya.
Sagala mengatakan, selama Ramadhan ia mengikuti perkuliahan dari pukul 09.00 sampai siang dilanjutkan dengan bimbingan tesis dan baru kembali ke asrama pukul 17.00.
Pada pukul 17.00 sampai menunggu berbuka pukul 22.00 ia mengisi waktu dengan berbagai kegiatan seperti memasak, membuat tugas atau mengikuti acara di Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Untuk menu berbuka ia memilih memasak sendiri dengan membuat menu Indonesia seperti rendang, dan berbagai lauk guna mengobati kerinduan terhadap masakan Tanah Air.
“Yang pasti kurma, buah dan teh manis jadi menu wajib,” ujarnya
Sementara untuk Shalat Tarawih ia memilih di asrama karena kesibukan dan minggu depan akan berkeliling ke beberapa masjid yang ada di Paris.
Di sini cuma ada Shalat Tarawih dan Witir, tidak ada ceramah agama di beberapa tempat ada yang setelah Maghrib mulai Tarawih mengingat singkatnya waktu setelah Isya, katanya.
Sementara salah seorang warga Padang, Andi, 34 tahun, yang juga pernah berpuasa di Spanyol saat kuliah S3 mengatakan berpuasa di negara orang punya kesan yang mendalam.
“Selain waktu lebih panjang, suasananya juga berbeda dan keakraban dengan sesama muslim lebih kuat karena ada perasaan senasib,” katanya.(ant/iss/fik)