Bekerja dan tinggal di Amerika Serikat, di saat memasuki bulan suci Ramadhan, bagi yang tidak terbiasa, akanlah sulit. Sebab, durasi jeda waktu menjalankan ibadah puasa antara Indonesia dengan Amerika Serikat berbeda jauh.
Di Indonesia, masyarakat yang menjalankan ibadah puasanya 14 jam. Sedangkan, untuk waktu Amerika Serikat, 17 jam untuk berpuasa.
Hal tersebut diungkapkan Dian Harumi Paramita B.Econ, MBA Community Manager Google +, kalau puasa di California durasinya lebih panjang dibandingkan dengan di Surabaya.
“Di tempat saya tinggal waktu California, puasanya itu mulai dari pukul 04.16 pagi hingga 08.30 malam,” kata perempuan yang tinggal di Silicon Valley, California, kepada suarasurabaya.net, Sabtu (18/6/2016).
Dengan jeda waktu yang panjang, untuk menjalankan ibadah puasa, perempuan berusia 29 tahun tersebut mengakui, kalau dirinya menjadi lebih kurus di saat bulan suci Ramadhan. Sebab, untuk menahan lapar dianggapnya sudah hal yang biasa.
“Alhamdulillah kalau menahan lapar sudah biasa, tapi hausnya itu yang luar biasa,” ujar perempuan kelahiran Surabaya 20 Januari 1985 tersebut.
Terlebih lagi, kata Harumi panggilan akrabnya, kalau mengikuti shalat tarawih di Masjid yang sering dikunjungi yakni MCA Mosque di Santa Clara, pulangnya malam sekitar pukul 11.30 hingga 00.00 waktu setempat.
“Alhamdulillah, semuanya saya jalani karena Allah SWT,” kata suami Bramandia Ramadhana B.Eng, M.Eng, yang juga bekerja di Google Inc bagian Software Engineer.
Untuk mengenai makan ataupun berbuka puasa di tempat tinggalnya Silicon Valley, California, ibu dua anak tersebut lebih sering memasak di rumah. Sebab, masih menyukai menu masakan Indonesia.
Jika berada di luar rumah, untuk membeli menu buka puasa, harus membelinya di restoran yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, menjual makanan halal.
“Restoran halal favorit saya adalah Shan Indo-Pakistani restaurant di Sunnyvale, Darda Chinese restaurant di Milpitas dan Mirchi Cafe di Fremont. Di restoran itu menu makannya masih seperti rasa Indonesia,” kata ibu dua anak kembar tersebut.
Sebagai seorang perempuan muslimah, yang menggunakan jilbab tinggal di lingkungan minoritas Silicon Valley, California, Amerika Serikat, anak dari pasangan suami istri, Ismund Samoery dengan Endang Kusumo Aptuti, tentunya mempunyai suka dan duka.
Harumi mengakui, kalau selama menggunakan hijab di negeri mempunyai perasaan yang tenang. Karena apa yang dijalankan itu adalah kewajibannya sebagai seorang muslimah dengan menggunakan jilbab yang menutupi aurat.
Bahkan, dirinya sejak menetap di Silicon Valley, California dan bekerja di Google+, banyak orang yang menyukainya dengan menggunakan hijab.
“Banyak orang termasuk kolega serta atasan memuji jilbab saya. Mereka menyukai dan menilai, kalau jilbab saya itu bagus. Tentu saja saya katakan ke mereka jilbabnya itu asli buatan Indonesia yang memiliki gaya dan style tersendiri,” kata alumnus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).
Dukanya, dimanapun berada dia selalu menjadi pusat perhatian. Lebih-lebih berjumpa dengan orang yang berpikiran, bahwa Islam itu adalah teroris. Hal itu alami Harumi, ketika jalan-jalan dilihat oleh seorang laki-laki, dirinya diperhatikan mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Tatapan matanya itu tajam saat melihatnya. Bahkan, saya pernah dikatakan teroris. Tapi, Alhamdulillah semuanya itu saya jalani dengan tenang. Karena itu semuanya adalah ridho-nya dan cintanya Allah SWT, yang masih mencintai saya memberikan cobaan, apakah saya bisa dan mampu,” ujar alumni SMA Negeri 5 Surabaya. (bry/ipg)