Minggu, 5 Januari 2025

PMK Soal PPN Bikin Kegaduhan, Misbakhun Anggap Dirjen Pajak Abaikan Perintah Prabowo

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Mukhamad Misbakhun Ketua Komisi XI DPR RI fraksi Partai Golkar. Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Mukhamad Misbakhun Ketua Komisi XI DPR RI mengatakan, Prabowo Subianto Presiden pada tanggal 31 Desember 2024 menyatakan bahwa penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.

Barang dan jasa tertentu itu adalah yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada atau hanya masyarakat yang mampu mengkonsumsi barang mewah tersebut.

Anehnya, kata dia, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Sehingga aturan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya, karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

Padahal, lanjut Misbakhun, hal itu sangat jelas bahwa dalam Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% bisa diterapkan bersamaan sekaligus.

“Tarif PPN 11% untuk yang tidak naik, sedangkan tarif PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah,” jelasnya.

Namun, ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Pemberlakuan PPN membuat dasar perhitungan penerapan PPN 11% yang tidak naik membingungkan dunia usaha karena menggunakan istilah dasar pengenaan lain.

“Maka, hal ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Dirjen Pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas,” tegasnya.

Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak, di mana Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.

Sedangkan untuk Masa Transisi pada tanggal 1 Januari 2025 sampai 31 Januari 2025, Pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang sama dengan barang/jasa yang bukan barang mewah.

“Prabowo Presiden menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11% dan bukan 12% untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi dalam peraturan tersebut justru mengatur tarif PPN yang berlaku adalah 12%,” ungkapnya.

Memang, kata Misbakhun, Dasar Pengenaan Pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11% atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif. Akan tetapi peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, di mana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12% seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak dalam Media Briefing 2 Januari 2025.

“Persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya. Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi PMK itu tetap membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya,” terangnya.

Misbakhun menegaskan, sudah seharusnya Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

“Apakah Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, telah menterjemahkan instruksi Presiden dengan tepat?” Kata Misbakhun bertanya-tanya.

Kata dia, tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya.

“Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Prabowo Presiden, sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden, karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat pelaksanaannya menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha,” pungkas Misbakhun.(faz/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Truk Tabrak Rumah di Palemwatu Menganti Gresik

Surabaya
Minggu, 5 Januari 2025
25o
Kurs