Rifqinizamy Karsayuda Ketua Komisi II DPR RI mengatakan, DPR dan Pemerintah akan mengakomodir indikator pembentukan norma baru yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Dalam putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK memberikan indikator yang disebut rekayasa konstitusi (constitutional engineering).
Legislator Fraksi Partai NasDem itu mengungkapkan, indikator yang disampaikan MK terkait rekayasa konstitusi bertujuan mengantisipasi terlalu banyaknya kandidat capres-cawapres yang kontraproduktif dengan cita-cita demokrasi.
“Tidak menghadirkan apa yang saya sebut dengan liberalisasi demokrasi presidensial. Jangan sampai calonnya terlalu banyak yang justru kontraproduktif terhadap kualitas demokrasi di Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Minggu (5/1/2025).
Lebih lanjut, Rifqi menyebut DPR akan segera mengadakan rapat bersama pemerintah untuk melakukan pembentukan norma baru sebagai tindak lanjut dari putusan MK.
“Kami akan membicarakannya dengan pemerintah terkait dengan tindak lanjut putusan MK, karena putusan MK itu setidaknya berisi dua hal. Pertama, amar putusan yang menegaskan bahwa persentase presidential threshold menjadi 0 persen,” jelas Rifqi.
Dia menjamin DPR menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Sehingga, perlu dilakukan pembicaraan dan penyusunan norma baru yang berkesesuaian dengan amar putusan MK.
“Kami menghormati putusan MK dan kami memahami keputusan itu bersifat final dan mengikat,” pungkasnya.
Seperti diketahui, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, inkonstitusional.
Dalam putusan yang dibacakan, Kamis (2/1/2025), di Jakarta, Suhartoyo Ketua MK meyebut batasan minimal 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan itu merespons permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan berbagai unsur masyarakat.
MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Kemudian, MK juga berpendapat besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR RI. (rid/ham)