Rabu, 5 Februari 2025

Kuasa Hukum Hasto: Penetapan Tersangka oleh KPK Bertentangan dengan KUHAP dan Putusan MK

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto Sekjen DPP PDIP saat sidang pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025). Foto: istimewa

Gugatan Praperadilan yang diajukan Hasto Kristiyanto Sekjen PDIP atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2025).

Ada delapan poin utama yang dibacakan secara bergantian, masing-masih oleh Ronny Talapessy, Todung Mulya Lubis, dan Maqdir Ismail, di PN Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2024).

Pertama, penetapan status tersangka itu dilakukan tanpa pemeriksaan terhadap Hasto Kristiyanto. Sehingga, bertentangan dengan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.

Putusan MK tersebut menegaskan proses penetapan Tersangka dan penyidikan seseorang sampai menjadi Tersangka membutuhkan bukti permulaan, yaitu minimum dua alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

Para pembela Hasto mengklaim, kliennya belum pernah memberikan keterangannya atas perkara tersebut, baik itu dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.

“KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka tanpa pernah memanggil dan/atau meminta keterangannya terlebih dahulu secara resmi sebagai Saksi/Calon Tersangka. Itu merupakan tindakan yang dilakukan sewenang-wenang dan tidak mengindahkan ketentuan KUHAP maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 karena melewatkan proses yang diharuskan dalam penetapan Tersangka, yakni pemeriksaan terhadap Saksi/Calon Tersangka,” kata Ronny.

Kedua, penetapan Hasto sebagai tersangka pada awal tahap penyidikan tidak melalui proses pengumpulan dua alat bukti permulaan yang cukup terlebih dahulu dan melewatkan tahap penyelidikan.

Penjelasannya, sesuai putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, penyidik seharusnya melakukan pengumpulan alat bukti terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka. Sehingga tidak boleh serta merta Penyidik menemukan Tersangka, sebelum melakukan pengumpulan bukti.

“Norma Pasal 1 angka 2 KUHAP sudah tepat karena memberikan kepastian hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan menjadi Tersangka oleh Penyidik, yaitu harus melalui proses atau rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti, bukan secara subyektif Penyidik menemukan Tersangka tanpa mengumpulkan bukti,” bebernya.

Dalam perkara ini, lanjut Ronny, Termohon (KPK) langsung menyatakan kedudukan Pemohon (Hasto) sebagai Tersangka sesudah memberikan keputusan akan menjalankan proses penyidikan sebagaimana Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/722/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: B/721/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 atas nama Tersangka Hasto Kristiyanto (Pemohon) dan tidak menjalankan tahap penyelidikan terlebih dahulu.

“Penetapan Tersangka atas diri Pemohon ini terkesan terburu-buru dengan tidak menunggu perolehan bukti-bukti dari fase penyidikan, khususnya melalui tindakan penyitaan,” urainya.

Ketiga, penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK tidak jelas karena adanya kontradiksi dan menciptakan ketidakadilan baru serta ketidakpastian hukum.

Penjelasannya. KPK mengeluarkan dua buah SPDP, yakni Nomor B/722/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024 dengan sangkaan penyuapan, dan Nomor B/721/DIK.00/23/12/2024 tanggal 23 Desember 2024, dengan sangkaan penghalangan hukum.

“Kedua SPDP itu mengandung kontradiksi dan memuat pernyataan yang tidak masuk di akal, patut diduga sebagai bentuk kriminalisasi. Bagaimana mungkin ketika Pemohon (Hasto) bersama-sama Tersangka Harun Masiku dan kawan-kawan disangka memberi hadiah atau janji kepada Wahyu Setiawan, dan pada saat yang sama Pemohon bersama-sama melakukan perbuatan pidana merintangi Penyidikan tindak pidana korupsi,” jelas Todung Mulya Lubis yang secara bergantian membacakan poin-poin gugatan Praperadilan.

Selain itu, dijelaskan bahwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri telah menjalani hukuman dan menjadi Terpidana. Maka kedua SPDP itu, juga telah menciptakan ketidakadilan baru dan ketidakpastian hukum terhadap para Terpidana dimaksud.(faz/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Surabaya
Rabu, 5 Februari 2025
28o
Kurs