Selasa, 25 Februari 2025

Kejagung Tetapkan 7 Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah, Kerugian Negara Rp193,7 Triliun

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Agung Harli Siregar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan (kiri) dan Abdul Qohar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung (kanan) berbicara dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/2/2025). Foto: Antara

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. Kerugian keuangan negara mencapai Rp193,7 triliun.

“Berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli, bukti dokumen yang telah disita secara sah, tim penyidik pada malam hari ini menetapkan tujuh orang sebagai tersangka yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun dengan,” kata Abdul Qohar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.

Ketujuh tersangka tersebut adalah RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku PT Pertamina International Shipping. Lalu, AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, serta GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Tujuh tersangka tersebut, ujar Qohar, akan ditahan selama 20 hari ke depan untuk proses pemeriksaan terhitung sejak kemarin, Senin (24/2/2025).

Qohar menjelaskan posisi kasus ini, pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. PT Pertamina (Persero) juga wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

Itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Akan tetapi, ujar Qohar, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya. Sehingga kebutuhan minyak mentah harus dipenuhi dengan cara impor.

Saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” terangnya dilansir Antara.

Ia mengatakan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.

“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

Selain itu, lanjutnya, tersangka DW dan tersangka GRJ komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.

Akibat kecurangan itu, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi yang kemudian HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun. Jumlah itu baru nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung masih melakukan perhitungan lebih lanjut bersama ahli.

Kerugian tersebut, kata dia, berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Sementara itu, PT Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan siap bekerja sama dengan pihak berwenang.

“Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah,” ujar Fadjar Djoko Santoso VP Corporate Communication Pertamina.

Sebelumnya, Harli Siregar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung mengatakan bahwa kasus ini bermula ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur mengenai prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Kejagung masih terus mendalami kasus ini guna mengungkap pihak lain yang terlibat kasus korupsi besar ini. (ant/dra/lta/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Selasa, 25 Februari 2025
30o
Kurs