Rifqinizamy Karsayuda Ketua Komisi II DPR RI mengatakan, pihaknya bakal menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-undang tentang Pemilu, inkonstitusional.
Dalam keterangannya, petang hari ini, Kamis (2/1/2025), di Jakarta, dia bilang putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga, DPR dan Pemerintah berkewajiban menindaklanjutinya.
“Mahkamah Konstitusi putusannya adalah final and binding. Oleh karena itu, kami menghormati dan berkewajiban untuk menindaklanjutinya,” ujarnya.
Menurut Rifqi, Komisi II DPR RI akan memasukkan poin putusan MK itu ke dalam pembentukan norma baru, atau undang-undang yang mengatur pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Lebih lanjut, legislator dari Partai NasDem itu menilai putusan MK tersebut adalah babak baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia.
Dengan begitu, semakin terbuka peluang setiap partai politik mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Sehingga, Pilpres mendatang ada banyak pasangan calon presiden yang bisa dipilih masyarakat.
Seperti diketahui, MK menyatakan presidential threshold 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menilai, semua partai politik peserta pemilu punya hak mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Putusan yang dibacakan Suhartoyo Ketua MK, sore hari ini, di Jakarta, merespons permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan berbagai unsur masyarakat.
Pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas, dalam pandangan MK, terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Berikutnya, MK juga berpendapat besaran ambang batas pencalonan presiden lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR RI.
Lalu, MK menyarankan DPR RI dan Pemerintah tidak lagi menjadikan ambang batas sebagai syarat pengusulan pasangan capres-cawapres dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017. (rid/ham)