Upaya DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Pilkada dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang direspons gerakan “PERINGATAN DARURAT” dan “Kawal Putusan MK” pekan lalu, sudah seharusnya dijadikan pembelajaran bagi para elit politik Tanah Air.
Surokim Abdussalam pakar politik sekaligus Dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menyebut, dari peristiwa itu, elit politik perlu belajar untuk senantiasa mendengarkan aspirasi dan dekat dengan publik, khususnya dalam pengambilan keputusan.
“Kalau tidak ingin ada gerakan masif dari rakyat, jangan sesekali mengingkari suara hati nurani. Jadi hikmah yang terbesar dari peristiwa dua hari kemarin itu ya bahwa elit memang harus refleksi diri, jangan sampai ada gerakan massa yang lebih masif,” ujar Surokim waktu dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (26/8/2024) pagi.
Untuk diketahui, gerakan “PERINGATAN DARURAT” dan “Kawal Putusan MK” sebelumnya trending di jagat maya pada Rabu (21/8/2024) petang, saat Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah yang diwakili Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri tiba-tiba rapat menggodok draft RUU Pilkada.
Langkah itu diambil DPR dan pemerintah, usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 60 dan 70 sehari sebelumnya, yang memungkinkan partai politik nonparlemen mengusung calonnya sendiri hingga soal batas usia calon.
Namun, pihak legislatif dan eksekutif keesokan harinya justru mengebut pembahasan RUU Pilkada selama kurang lebih 7 jam. Hal yang jarang terjadi, dan masyarakat curiga dan geram adanya tujuan menguntungkan pihak tertentu. Sehingga, lahirlah gerakan protes serta aksi turun ke jalan pada keesokannya, Kamis (22/8/2024).
Menurut Surokim, tidak mudah memobilisasi massa di berbagai wilayah negara untuk turun ke jalan, dalam waktu yang sama cepatnya dengan Baleg DPR menggodok RUU Pilkada untuk disahkan ke Rapat Paripurna.
“Tapi begitu perasaan dan hati nurani publik itu tercederai, maka memang sangat mudah bagi siapapun untuk kemudian berpartisipasi dalam gerakan massa itu,” ungkapnya.
Meski demikian, Surokim mengaku tidak percaya kalau ada pihak tertentu yang memobilisasi massa ke jalan. Dia lebih percaya kalau turunnya massa ke jalan murni sebagai kesadaran publik untuk menyuarakan hati nurani dan unek-unek yang sudah lama terpendam.
Pakar Komunikasi Politik UTM itu mengatakan, gerakan-gerakan masa yang dimulai dari media sosial, cancel culture, dan sebagainya memang memang fenomena baru dalam dunia politik. Kekuatannya tidak bisa dianggap angin lalu karena saling terhubung demikian cepat di berbagai platform, dan bisa menaut ke banyak pihak.
“Jadi memang gerakan-gerakan sosial sekarang ini, masa yang sekarang ini, memang rata-rata lahir dari media sosial dan itu memang perlu menurut saya sebagai salah satu bentuk gerakan baru yang dimulai dari media sosial lalu kemudian menjadi aksi lapangan,” jelasnya.
Tapi dia tak menampik memang ada agenda pihak tertentu memanfaatkan momen ini untuk menunggangi massa, meskipun porsinya memang rata dengan kepentingan publik.
“Tentu perjuangan ini, sekali lagi, kita kan inginnya pro-publik ya. Baik elit maupun semua elemen itu memang tidak berhenti untuk mengkhianati publik. Dan saya pikir gerakan ini bagian dari perjuangan bersama tidak hanya bisa dinikmati oleh partai politik, tapi sebenarnya kemenangannya adalah kemenangan bersama milik rakyat Indonesia,” jelasnya. (bil/ham)