Luluk Nur Hamidah Calon Gubernur Jawa Timur (Cagub Jatim) nomor urut 01 menyoroti ketimpangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di beberapa kabupaten Jatim.
Dia menyebut, meski IPM Jatim yang ada di angka 74,65 atau di atas rata-rata nasional, tidak semua 38 kabupaten/kota di Jatim dalam kondisi baik, bahkan beberapa masih menghadapi masalah kemiskinan dan stunting.
“Bahkan kabupaten dimana ada wakil gubernur (berasal) gitu ya kan mulai kemudian stuntingnya juga masih menjadi persoalan, kemiskinan juga masih tinggi. Atau kemudian di daerah Madura itu tiga kabupatennya (tingkat) kemiskinan yang tertinggi di Jawa. Makanya kenapa saya bilang bahwa melihat Jawa Timur itu harus melihat dalam kerangka keadilan yang menyeluruh,” bebernya dalam program Wawasan Suara Surabaya Spesial Menuju Grahadi, Senin (11/11/2024).
Mantan anggota Komisi VI DPR RI 2019-2024 itu juga mengkritik klaim nasional soal penurunan stunting, yang tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Menurutnya, data agregat nasional sering kali menyesatkan dan tidak menggambarkan situasi sebenarnya di tingkat provinsi, kabupaten, bahkan desa.
Ia mencontohkan satu desa yang masih memiliki tingkat stunting hingga 50 persen, meskipun klaim nasional menunjukkan angka stunting hanya sekitar 20 persen. Luluk menduga bahwa data-data tersebut bisa saja dimanipulasi untuk mencapai target yang diinginkan, sekedar hanya karena ingin mengejar penghargaan.
“Ya, ini bahaya gitu loh. Karena apa? Kalau kemudian pemerintah itu tidak jujur sama seperti pemerintah provinsi di Jawa Timur yang selalu klaim mampu menurunkan angka kemiskinan hingga hampir ke titik nol, itu akan justru punya potensi ada warga miskin yang tertinggal, kenapa? karena tidak dilihat dan kemudian tidak lagi dianggap ada hanya karena ingin penghargaan dan dianggap berhasil padahal itu, mohon maaf ya kan bisa juga manipulasi gitu,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Luluk membandingkan pengalamannya di DPR RI membuktikan komitmennya terhadap masyarakat Jatim, terutama dalam perjuangan kebijakan yang pro-rakyat kecil dan perempuan.
“Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi saya juga punya penghargaan. Meski tidak sebanyak (dua calon) yang lain, penghargaan ini penting karena diberikan langsung oleh DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan, yang menganggap saya menjaga etik dan integritas serta memberikan citra positif bagi lembaga,” ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa posisi dirinya di Pilkada Jatim, bukan sebagai pemecah suara seperti klaim-klaim yang beredar belakangan ini. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengatakan, bersama Lukmanul Khakhim Calon Wakil Gubernurnya (Cawagub), justru hadir sebagai ice breaker di Pilkada serentak kali ini.
“Pemecah suara? Icebreaker mungkin ya? Tapi kalau icebreaker-nya malah mendatangkan air bah, semua bisa dilibas dong. Jadi hati-hati ya, sama icebreaker,” ujarnya.
Meski demikian, diakuinya kalau klaim-klaim pemecah suara itu merupakan hal yang biasa di kalangan politisi. Apalagi kalau menyangkut soal kontestasi pemilihan. Namun, kehadirannya dalam kontestasi Pilkada Jatim justru bersifat organik, tiba-tiba, tanpa buzzer dan kampanye besar-besaran sejak awal.
“Membangun self-branding yang panjang, drama-drama politik sudah diciptakan lama, buzzer-buzzer dipelihara. (Tapi) saya tidak punya buzzer. Serius, saya malah kepikiran, gimana caranya meng-hire buzzer,” tambahnya sembari bercanda. (bil/ham)