Debat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sejumlah wilayah di Indonesia tersaji tidak berkualitas, mulai dari paslon yang menyampaikan gagasan minim substansi hingga munculnya kericuhan saat debat berlangsung.
Kondisi tersebut, membuat beberapa video cuplikan debat Pilkada viral di media sosial dan mendapat hujatan dari netizen.
Radius Setiyawan Dosen Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menjelaskan, ada dua faktor yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Pertama, soal kegagalan partai dalam melakukan seleksi dan kaderisasi untuk menciptakan calon kepala daerah berkualitas secara intelektual.
“Sehingga beberapa gagasan atau ide yang ditawarkan cenderung tidak masuk akal dan cenderung menjadi bahan bully netizen,” katanya, Selasa (5/11/2024).
Kedua, kegagapan dalam memahami persoalan di masyarakat. Akibatnya, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan yang ada di lapangan.
Ia menegaskan, memahami persoalan di masyarakat butuh perspektif dan pengalaman. Ketika tidak punya dua hal tersebut, maka gagasan yang disampaikan cenderung kosong dan berjarak dengan kebutuhan masyarakat.
Meskipun hal tersebut membuat viral dan paslon lebih diketahui oleh masyarakat, tetapi ia menegaskan bahwa viralitas memiliki dua belah mata pisau. Yakni, satu sisi dapat membawa citra lebih baik, dan satu sisi lainnya sebaliknya.
“Viralitas adalah kekuatan yang strategis untuk mendorong kebijakan maupun melawan kekuasaan. Tetapi, viralitas juga mampu membongkar kualitas seseorang hingga menurunkan elektabilitas,” ucapnya.
Pihaknya berharap, ke depan, debat lanjutan yang akan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dimanfaatkan sebagai ajang pamer jargon atau visi misi, tetapi juga sebagai sarana menyalurkan gagasan yang berisi dan efektif.
“Banyak citra diri dibangun di ruang tersebut, tetapi bisa menjadi alat bunuh diri kalau tidak cerdas memanfaatkannya,” tandasnya.(ris/iss)