Minggu, 24 November 2024

Rancangan Permenkes Penyeragaman Kemasan Rokok Tuai Protes, DPR Minta Tinjau Ulang Sebelum Gaduh

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem menjadi narasumber diskusi, Selasa (12/11/2024), di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: Istimewa

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang di dalamnya mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek mendapat penolakan dari berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau.

Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI menyatakan, kebijakan yang diinisiasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) itu perlu dikawal secara ketat karena bisa menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem pertembakauan, yang terdiri dari petani, pekerja, dan pedagang.

“Berkaca dari hasil Rapat Komisi IX DPR dengan Kemenkes, dari semua anggota Komisi IX, hanya saya yang bertanya terkait kebijakan ini. Kami dari fraksi NasDem sangat perhatian dengan kebijakan itu. Kami akan mengawal karena banyak sektor yang akan terkena imbasnya,” ujarnya dalam Diskusi Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (12/11/2024).

Pada kesempatan itu, Nurhadi juga menyampaikan Kemenkes harus bersikap lebih bijaksana dalam menyusun kebijakan terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

“Masyarakat telah menyampaikan aspirasinya pada saat rapat kerja Komisi IX dengan Kemenkes. Waktu itu, Menteri Kesehatan setuju untuk menunda proses perumusan aturan dengan mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari terbitnya aturan tersebut, terutama dampak dari sisi ekonomi,” katanya.

Legislator dari Fraksi NasDem itu melanjutkan, sebuah kebijakan harus mempertimbangkan berbagai sisi dan pandangan. Begitu juga Rancangan Permenkes yang harus seimbang antara ekonomi dan kesehatan.

“Jangan sampai terjadi tumpang tindih antara keduanya, yaitu antara ekonomi dan kesehatan. Oleh karena itu, setiap regulasi itu perlu dikaji lebih mendalam terlebih dahulu,” tegasnya.

Di kesempatan yang sama, Sarmidi Husna Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menjelaskan, pesantren juga seharusnya dilibatkan dalam proses perumusan Rancangan Permenkes karena banyak wali santri yang bekerja di bidang tembakau.

Sehingga, P3M mempunyai tugas melakukan advokasi kepada setiap wali santri yang terlibat langsung dalam industri tembakau.

Dari sisi agama, Sarmidi menyampaikan rokok tidak diharamkan, berbeda dengan khamr (minuman keras) yang jelas haram. Menurutnya, permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah besar dan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam dahulu soal kebijakan tersebut.

Maka dari itu, Sarmidi meminta para pihak terkait di industri tembakau untuk lebih diperhatikan agar tidak ada kegaduhan lebih lanjut.

“Dari aspek keagamaan, Rancangan Permenkes memiliki dampak negatif yang lebih besar bagi petani, pekerja, pedagang ritel, dan UMKM, semua yang ada di ekosistem pertembakauan,” imbuhnya.

Sementara, Junaedi Ketua Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (PPKSI) turut menyampaikan bahwa pedagang secara tegas menolak Rancangan Permenkes yang akan menyeragamkan kemasan rokok tanpa identitas merek.

Aturan itu dinilai tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan sehingga sulit untuk diimplementasikan.

“Rencana penyeragaman kemasan ini akan menimbulkan kekacauan di lapangan. Kami menjual beragam varian rokok yang berbeda. Kalau ada rokok A dengan varian menthol, lalu ada rokok B dengan varian yang sama, nanti gimana kami menjualnya? Harus ada kebijaksanaan ini dari pemerintah,” sebutnya.

Lebih lanjut, Junaedi bilang rokok merupakan produk yang turut memikat pembeli untuk dapat membeli produk lain. Sehingga, apabila penjualan rokok turun, maka berimbas pada penjualan produk lainnya.

“Aturan itu sangat menyulitkan kami menjual rokok di lapangan. Ditambah lagi, produk rokok ini kan legal jadi tidak bisa dilarang, kan sudah ada pembatasan. Omzet kami pasti akan turun, rokok ini menarik produk lain untuk ikut terjual, tapi kalau rokok penjualan turun, yang lain pasti turun juga,” terangnya.

Junaidi, yang mewakili suara para pedagang toko kelontong, juga heran dengan aturan zonasi larangan penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang terdapat pada PP 28/2024, aturan turunan UU 17/2023, karena diskriminatif dan tidak adil terhadap pelaku usaha yang sudah lebih dahulu beroperasi pada lokasi tersebut.

“Bagaimana dengan anggota kami yang telah bertahun-tahun memiliki tempat usaha yang berdampingan dengan satuan pendidikan? Saya rasa kalau aturan ini tujuannya untuk mengurangi prevalensi perokok bagi anak dibawah usia 21 tahun, bukan hanya kami yang harusnya didiskriminasi. Harus ada kebijakan yang solutif terkait masalah PP 28/2024 ini dengan apa yang terjadi di lapangan. Kami bersama beberapa asosiasi ritel juga sudah menolak aturan ini saat PP 28/2024 belum disahkan,” tambahnya.

Di akhir sesi serap aspirasi, Nurhadi menutup dengan menyampaikan keprihatinannya karena proses penyusunan Rancangan Permenkes ini tidak pernah melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan serta Kementerian terkait lainnya dalam penyusunan atau pun diskusi beleid tersebut.

“Ternyata pembahasan Rancangan Permenkes belum pernah melibatkan Kementerian Tenaga Kerja. Jadi, ada apa ini? Padahal kita tahu imbasnya kepada tenaga kerja,” sesalnya.

Dia mengingatkan kepada seluruh pihak, terutama Kementerian Kesehatan, untuk meninjau kembali rancangan aturan tersebut dan mencari titik tengah yang dapat diterima seluruh pihak agar tidak menimbulkan kegaduhan di kemudian hari.

“Kalau Rancangan Permenkes ini terbit yang terjadi mungkin tidak akan beda seperti yang terjadi saat ini. Kita lihat pelaku usaha peternak sapi perah juga terkenda dampak negatif, di mana susu dibuang ratusan ton tiap hari. Apakah kita akan menunggu seperti itu? Ketika terjadi kegaduhan, pemerintah baru bersikap,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
27o
Kurs