Jumat, 22 November 2024

Polling Suara Surabaya: Sebagian Besar Masyarakat Setuju Presiden Harus Tetap Netral di Pemilu 2024

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media terkait "Haruskan Presiden Netral" dalam Pemilu 2024 mendatang. Grafis: Bram suarasurabaya.net

Sebagian besar masyarakat menyoroti pernyataan Joko Widodo (Jokowi) Presiden, yang secara gamblang menyebut bahwa presiden hingga menteri memiliki hak demokrasi dan politik, sehingga membolehkan mereka untuk ikut kampanye pemilu selama tidak menggunakan fasilitas negara.

Hal itu membuat netralitas Kepala Negara jadi dipertanyakan dalam kontestasi politik lima tahunan, yang puncaknya berlangsung pada 14 Februari mendatang tersebut.

Sementara dalam program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (25/1/2024), sebagian besar masyarakat masih berharap supaya Jokowi Presiden tetap netral.

Dari data yang dihimpun Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 63 dari 97 (65 persen) pendengar yang berpartisipasi berharap supaya Kepala Negara tetap netral tidak condong ke pasangan calon (Paslon) tertentu, sementara 34 sisanya (35 persen) menganggap tidak masalah Presiden tidak netral.

Sementara dari polling di instagram @suarasurabayamedia, 240 dari 342 (70 persen) voters yang berpartisipasi memilih Presiden harus netral, dan 102 sisanya (30 persen) berpendapat tidak harus netral.

Sebelumnya, pernyataan presiden hingga menteri boleh ikut kampanye itu disampaikan Jokowi, menanggapi adanya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju yang masuk sebagai tim sukses, untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pilpres 2024.

“Hak demokrasi, hak politik, setiap orang. Setiap menteri sama saja, yang paling penting presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak. Boleh,” kata Jokowi, Rabu (24/1/2024) hari ini, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Merespon pernyataan Jokowi, Idham Holik Anggota KPU RI di hari yang sama mengatakan bahwa Undang-Undang (UU) Pemilu memperbolehkan presiden dan menteri untuk ikut berkampanye.

“UU Pemilu khususnya pasal 281 ayat 1 memperbolehkan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati wakil bupati, wali kota dan wakil walikota ikut dalam kegiatan kampanye,” ujar Idham di Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Tanggapan Pakar Hukum Tata Negara

Pernyataan Jokowi, selain mendapat sorotan sebagian besar masyarakat, juga mencuri perhatian pakar hukum tata negara, salah satunya Prof. Dr. Siti Marwiyah selaku Ketua Asosiasi Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara.

Menurutnya, presiden sah-sah saja kalau presiden memutuskan untuk ikut berkampanye dalam kontestasi Pemilu, jika statusnya sebagai incumbent atau petahana yang masih berhak untuk kembali mencalonkan diri.

“Tetapi ketika dia kemudian berkampanye untuk salah satu calon, maka sesungguhnya menurut saya ini adalah bagian dari memberikan rasa ketidakadilan kepada paslon-paslon lain. Karena Presiden sebagai penyelenggara negara, sebagai simbol kepala negara, harus memberikan perlindungan, keadilan, kenyamanan dan harus menjamin Pemilu itu berjalan dengan baik dan damai,” ujarnya waktu mengudara di program Wawasan Polling.

Sementara untuk Menteri yang ikut kontestasi Pemilu, kata Siti Marwiyah, kalau mengacu pada pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), memang diperbolehkan asal tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan.

Tapi menurut Guru Besar Ilmu Hukum sekaligus Rektor Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya itu, yang jadi persoalan adalah bagaimana cara membatasi penggunaan fasilitas negara tersebut oleh pejabat terkait waktu berkampanye.

“Karena fasilitas negara itu sangat melekat, ada yang berupa supir, kemudian kendaraan dinas, ataupun ajudan-ajudan dan sebagainya. Kalau memang itu betul-betul begitu kampanye dia melepaskan itu semua ya fasilitas-fasilitas negara, itu tidak apa-apa. Tapi kalau kemudian dia masih menggunakan fasilitas negara itu, maka ini yang kemudian melanggar,” jelasnya.

Berdasarkan prinsip hukum dan keadilan, termasuk etika dan moral, Prof Siti berpendapat kalau yang dilakukan Jokowi tidak pas dan termasuk penyalahgunaan jabatan.

“Marilah kita ini sebagai negara demokratis, kita sudah dewasa semua, Presiden itu harus mencerminkan sebagai seorang Kepala Negara yang memberikan perlindungan yang sama terhadap warga negaranya, terhadap seluruh calon. Kalau memang dia ingin mengkampanyekan calon ya tiga-tiga calon itu diberikan fasilitas,” ujarnya.

Menurutnya, apa yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, terlihat seperti ingin menjungkirbalikkan ketatanegaraan dan mencederai demokrasi.

“Pasti dampaknya adalah, bahwa karena disitu ada ketidakadilan ini menimbulkan rasa kecemasan dan ketidaknyamanan dalam masyarakat. Baik bagi paslon (yang didukung Presiden), maupun bagi para pendukung atau masyarakat secara umum, karena akan menimbulkan kegaduhan politik,” ujarnya.

Untuk itu, dia mengemukakan, agar segala aturan yang berlaku terkait Pemilu bisa dilakukan secara efektif, maka Jokowi Presiden selaku Kepala Negara harus bisa tunduk pada aturan tersebut.

“Nah, ketika kemudian presiden itu menyatakan oke saya mendukung, kemudian boleh kampanye, berarti kan dia yang memberikan lampu hijau bahwa boleh melanggar aturan, ya jadi artinya undang-undangnya menjadi tidak efektif. Padahal undang-undangnya dibuat oleh penyelenggaraan negara, yakni oleh DPR bersama Presiden,” pungkasnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs