Hasyim Asy’ari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menegaskan, KPU tidak akan mengubah format debat capres-cawapres Pemilu 2024. Termasuk soal pembagian segmen dan durasi debat, karena sudah disepakati seluruh tim sukses pasangan calon peserta pilpres.
Pernyataan ini menanggapi Joko Widodo Presiden yang meminta debat capres-cawapres perlu diformat lagi, sesudah melihat Debat Ketiga Capres Pemilu 2024 pada Minggu lalu, kurang mengedukasi pemilih. Debat Capres kemari dinilai lebih banyak menyerang sisi personal peserta Pemilu 2024.
Hasyim menyampaikan, pola debat capres sudah jadi sudah ada pakemnya, jadi harus diikuti. Kalau ada perubahan, pasti akan menimbulkan pertanyaan berikutnya, kenapa polanya diubah.
Ketua KPU menegaskan, tidak akan membuat rambu-rambu baru pada debat berikutnya yang digelar pada Minggu (21/1/2024) nanti.
Lantas, apakah Anda nyaman menonton debat Pemilu 2024?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (11/1/2024) pagi, masyarakat memberikan respons yang beragam terhadap debat Pemilu 2024.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari total 61 pendengar yang berpartisipasi, 43 di antaranya (70 persen) merasa nyaman. Kemudian 18 lainnya (30 persen) mengaku tidak nyaman.
Sementara itu, dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 174 votes (32 persen) merasakan nyaman dengan debat Pemilu. Sedangkan 370 lainnya (68 persen) mengaku tidak nyaman.
Terkait hal tersebut Neni Nur Hayati Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyebut kualitas debat Pemilu 2024 mulai pertama hingga ketiga, masih jauh dari substansi dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Menurut saya masih seperti cerdas cermat tingkat dasar, bukan mengedepankan gagasan. Lebih ironi lagi debat ini menjadi ajang mengumbar emosi,” ujar Neni.
Menurutnya, debat di Pemilu seharusnya menunjukkan hal-hal yang sesuai substansi dan mengelaborasi ide. “Alih-alih mengelaborasi ide, yang terjadi justru saling serang antar satu dengan lain,” terangnya.
Neni menambahkan apabila yang diserang adalah kebijakan publik atau akurasi data, hal itu bukan serangan personal. Namun yang terjadi di debat justru serangan personal yang berkaitan dengan pribadi calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres), yang secara sengaja mencari kelemahan calon.
“Itu memang bagian strategi politik, tapi apakah strategi politik itu etis atau tidak, perlu dipertanyakan,” terang Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah tersebut.
Neni melihat, selama tahapan kampanye ini publik lebih banyak disuguhkan gimmick dan pertunjukan semu. Kampanye lebih didominasi pencitraan politik yang menyasar emosional pemilih. Membuat emosional pemilih bisa berubah dalam waktu singkat.
Ia menyebut jika berdasarkan kajian komunikasi politik dan ruang publik, debat kandidat itu semestinya menjadi ruang untuk two-way communication atau komunikasi dua arah. Menyuguhkan suasana kampanye politik yang berkualitas.
“Di situlah rasionalitas dan nalar para kandidat itu diuji. Bukan malah yang selama ini kita lihat bersama-sama, di mana jauh dari harapan dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” kritik Reni.
Dia juga melontarkan kritik ke KPU RI dengan menyebut tema debat yang terlalu luas dan terlalu banyak. Selain itu, ia juga menilai jumlah pendukung yang didatangkan ke arena debat terlampau banyak, yakni 75 orang. Jumlah itu dinilai tidak tidak efektif dan mengganggu jalannya debat yang sedang berlangsung.
“NGO atau LSM yang bergerak di isu-isu yang sangat relevan, itu justru malah tidak diundang. Padahal mereka yang banyak memahami misalnya advokasi di lapangan, permasalahan real di lapangan. Ini kalau misalnya mengundang 75 orang dari masing-masing kandidat, bising banget. Dan itu terjadi perang psikologis antar pendukung. Bukan hanya menganggu jalannya debat, tapi mengganggu konsentrasi kandidat, mengaburkan substandi debat, dan juga terjadi perang psikologi antarpendukung. Saya kira tim pendukung 20 atau 25 orang itu cukup,” jabarnya.
Neni menilai, panggung debat seharusnya menjadi ajang bagi pada kandidat untuk naik kelas menjadi negarawan. Tapi yang terjadi justru menjadi jauh dari sejarah, karakter, dasar nilai, dan prinsip-prinsip konstitusi. Di mana seharusnya para kandidat menjadi teladan dengan penampilan debat yang elegan dan beretika
“Jika debat hanya menjadi ajang saling serang, hanya mengumbar emosi, justru akan mengurangi maruah debat itu sendiri. Dan yang kita pertaruhkan itu kan pertaruhan bangsa dan negara ke depan. Jadi apabila kondisi debat seperti ini terus dipertahankan, maka debat hanya akan mempertontonkan kedangkalan berfikir,” jelas Neni.
Dengan dua sesi debat yang masih tersisa, Neni berharap KPU RI mengevaluasi tiga debat yang telah berjalan. KPU RI diharapkan mereduksi jumlah pendukung yang hadir di arena debat. KPU RI juga diharapkan mengundang LSM maupun civil society yang fokus dalam isu yang diusung dalam debat
Dia berharap dialektika di debat itu bisa mempertemukan antara kepentingan rakyat dengan masyarakat. Meskipun memang dengan waktu yang sangat terbatas, tapi jika panggung debat dipersiapkan, dikelola, dilakukan manajemen kesan yang baik dan optimal, sesungguhnya debat capres itu akan sangat memberikan intensif yang sangat signifikan untuk elektoral.
“Karena masih banyak ceruk pemilih kita yang undecided voters dan swing voters. Saya kira debat ini menjadi salah satu momentum yang sangat baik ya bagaimana kemudian di tengah kemunduran demokrasi yang ada hari ini, justru publik seharusnya disuguhkan wacana-wacana yang inklusif yang kemudian tidak menjauhkan dari problematika di kalangan grassroot,” jabarnya.
Selain itu, dia berharap kualitas debat semakin lebih baik dan lebih aspiratif lagi. Sehingga harapan untuk membangun demokrasi elektoral semakin berkualitas, itu bisa terwujud. (saf/ipg)